REPUBLIKA.CO.ID, oleh Barid Hardiyanto*
Pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan dunia, tidak terkecuali bagi kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Di tengah kemampuannya melakukan gerakan melalui penggalangan dana, bantuan pangan, advokasi daring, pelatihan online dan lain-lain, LSM pada sisi lain juga mempunyai kerentanan dan perlu melakukan adaptasi terhadap tatanan baru (new normal) di masa pandemi.
Di saat seperti ini, beberapa LSM terpaksa tidak dapat menjalankan program karena pemerintah maupun swasta membatalkan pengucuran anggaran karena adanya prioritasi baru untuk menghadapi covid-19. Kondisi ini semakin diperparah karena pandemi ini berlangsung tidak hanya pada ranah nasional tetapi sudah bersifat global sehingga donatur internasional yang biasanya membiayai LSM “terpaksa” tidak dapat berbuat banyak karena mereka pun harus terlebih dahulu memprioritaskan kepentingan negara asal donatur tersebut. Jika situasi seperti ini terus terjadi dalam waktu yang lebih lama maka bukan tidak mungkin, para aktivis tersebut terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya atau dirumahkan tanpa mendapatkan gaji.
Pada sisi lain, para aktivis LSM melihat bahwa di masa pandemi semacam inilah mereka seharusnya bekerja lebih dari biasanya karena masyarakat yang selama ini mereka dampingi adalah masyarakat yang sangat rentan terkena dampak dari Covid-19.
Dalam konteks itulah, LSM perlu melakukan transformasi menuju new normal. Disrupsi LSM karena keberadaan teknologi ditambah dengan adanya pandemi semakin memaksa LSM untuk berpikir keras dan bertindak cerdas agar tidak runtuh ditelan zaman.
New Normal LSM
Memasuki new normal. di masa pandemi ini, LSM setidaknya mempunyai tantangan baik eksternal maupun internal yang harus dihadapi dan dicarikan jalan keluarnya. Beberapa tantangan tersebut diantaranya, Pertama, LSM perlu memikirkan bahwa telah terjadi struktur tatanan baru dalam ekonomi. Dalam hal ini, LSM perlu memikirkan dan melakukan advokasi untuk memastikan bahwa masyarakat yang didampingi dapat melalui tatanan baru ini.
Di sini, LSM perlu memastikan bahwa sektor negara dan swasta harus memikirkan perlindungan pada masyarakat ekonomi lemah serta pentingnya melakukan redistribusi sumber daya agraria. Perlindungan terhadap masyarakat ekonomi lemah dapat dilakukan dengan meminta kepada negara untuk memberikan pendapatan dasar universal. Sedangkan redistribusi sumber daya agraria dapat dicarikan jalan keluar melalui reforma agraria ataupun adanya aset dasar universal.
Pendapatan umum universal dapat dijalankan dengan melakukan penarikan pajak progresif sedangkan reforma agraria atau pun pemberian aset dasar universal dapat dijalankan dengan melakukan redistribusi sumber daya agraria yang berasal dari sumber agraria (bumi, air, kekayaan alam) yang dikuasai oleh negara atau bisa juga melalui penataulangan sumber daya agraria yang terlantar atau berlebihan yang dimiliki oleh individu maupun swasta.
Kedua, memastikan adanya prioritasi pelayanan publik pada masyarakat yang rentan. Dalam banyak kejadian, masyarakat terpaksa harus “berdamai” dengan pandemi karena keterbatasan ruang yang dimiliki. Para pekerja komuter berdesakan di fasilitas transportasi publik karena terbatasnya transportasi serta ketidaksediaan perusahaan untuk meliburkan pekerjanya. Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) terpaksa tidak mendapatkan layanan maksimal karena tenaga kesehatan fokus pada penanganan covid selain juga karena ODHA rentan terhadap dampak covid sehingga mareka tidak disarankan untuk ke rumah sakit.
Di Indonesia, kita juga menyaksikan bahwa waria hidupnya terdiskiriminasi dan terlecehkan. Salah satunya ulah dari youtuber yang memberikan makanan sampah kepada waria. Begitu juga pada perempuan dan anak yang rentan terhadap kekerasan karena dalam keluarga yang laki-lakinya tidak bekerja dan tidak mempunyai anggaran yang cukup untuk menghidupi keluarganya, cenderung emosional dan dapat melakukan kekerasan.
Ketiga, menjaga demokrasi. Adanya pandemi dan perlunya kerja cepat, pada sisi lain akan membuat pemerintah harus membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang kadang tidak memperhatikan prosedur yang harus dilewati. Ekses negatif dari hal ini adalah pemerintah akan mengeluarkan kebijakan yang membuat presiden dapat mengambil keputusan tanpa adanya check and balance. Situasi demikian memungkinkan disalahgunakannya kekuasaan untuk kepentingan presiden maupun lingkarannya. Oleh karena itu, menjaga tatanan demokrasi dan kebebasan sipil tetap mutlak diperlukan di era new normal.. Sebab tanpa adanya demokrasi maka suara dari rakyat akan digantikan oleh suara dari pimpinan tertinggi suatu negara yang mungkin saja bisa terjerumus dalam tatanan pemerintahan yang otoriter.
Keempat, perlunya dorongan kampanye yang lebih kuat pada isu lingkungan hidup. Adanya lockdown yang membuat langit terlihat lebih bersih menjadi penanda bahwa cara hidup manusia selama ini memang penuh dengan polusi dan perusakan lingkungan. Pandemi ini mengajarkan pada kita bahwa bumi ini perlu dijaga. Isu lingkungan hidup khususnya dalam hal pengembangan sumber energi yang selama ini dalam posisi alternatif (angin, air dan lain-lain) harus mulai dimasukkan sebagai energi arus utama menggantikan energi yang selama ini merusak alam. Begitu juga dengan kampanye model bercocok tanam yang tidak eksploitatif dan merusak lingkungan sangat penting untuk digaungkan dan menjadi kebiasaan baru dalam kehidupan di era new normal.
Kelima, pentingnya jalinan kerjasama antar LSM baik pada skala nasional maupun global. Jalinan kerjasama ini dapat dilakukan dengan membentuk jaringan kerja “super app”. Apa itu jaringan kerja super app? Istilah ini mengambil dari layanan perusahaan teknologi (start up/ unicorn) yang menyediakan layanan untuk banyak hal seperti: WeChat, Gojek, Grab dan lain-lain. Layanan super app ala LSM dapat dijalankan dengan melakukan kolaborasi antar LSM yang berbeda sektor layanan maupun kompetensinya. Keberadaan super app ini adalah bagian dari adaptasi terhadap kemungkinan adanya disrupsi LSM karena teknologi. Dengan penggunaan teknologi terkini dan kolaborasi antar LSM yang berbeda sektor dan kompetensi ini akan mempermudah kerja advokasi maupun menjaga keberlanjutan LSM itu sendiri.
Keenam, dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, LSM harus menjalankan kerja pemberdayaan sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku. Selain itu, LSM juga perlu melakukan edukasi kepada masyarakat untuk menjalankan protokol kesehatan baik dalam menjalankan kehidupan sehari-hari maupun saat sedang berada di tempat kerja, misalnya dengan membuat pedoman protokol budidaya tanaman pangan di masa pandemi.
Akhirnya, pengetahuan dan pengalaman telah mengajarkan bahwa momentum krisis pada akhirnya akan menjadi titik balik penting bagi kehidupan manusia. Di era new normal. ini, LSM harus tetap menjaga kepemimpinannya dalam memberikan ide-ide inovatif, kreatif, mampu melakukan pengawalan dari kritik kepada pemerintah sekaligus dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya secara internal. Dengan begitu, LSM tetap dapat menjadi bagian terpenting dalam pilar kehidupan berbangsa, bernegara dan bersemesta. Selamat memasuki era baru: new normal. LSM.
*Kandidat Doktor di Ilmu Administrasi Publik UGM. Penerima beasiswa LPDP dan bekerja di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumber daya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH).