REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Akhmad Khoirul Fahmi, Mahasiswa Pascasarjana Unsud dan Pemerhati Sejarah Islam Pasca Diponegoro
Pada 18 Desember 1949 Yogyakarta, sebagai ibukota RI diduduki Belanda. Para pemimpin tertinggi seperti Sokerno, Hatta, Syahrir dan Agussalim ditahan. Panglima Besar Soedirman memilih melawan dengan perang gerilya, demikian pula beberapa pemimpin RI yang lain.
Sedangkan gerak langkah Sultan HB IX dibatasi tentara pendudukan. Belanda hanya menyisakan bahwa daerah keraton, Puro Paku Alam dan Kepatihan Danurejan dinyatakan sebagai daerah imun yang tidak akan diganggu-ganggu. Itulah aturan yang dibuat Kolonel Van Langen, Komandan Tentara Belanda di Yogyakarta saat itu.
Sekalipun begitu, dari keratonlah SultanHB IX menjalankan siasatnya.
Pertama kali yang diilakukan adalah segala langkah dan siasatnya, ini kompak bersamaan dengan Sri Paku Alam. Selanjutnya, siasat, ia sengaja menyebarkan berita bahwa dia “meletakkan jabatan” sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam.
Berita disebarkan dari mulut ke mulut (fluistercampagne) hingga seluruh rakyat di pelosok kabupaten mendengarnya. Dengan hal ini, soal keamanan daerah Yogyakarta menjadi tanggungjawab tentara pendudukan. Dengan demikian dirinya dan Sri Paku Alam tak akan dapat diperalat untuk membantu musuh.
Dengan pola komunikasi fluistercampagne inilah hubungan antara raja dan rakyat dilakukan. Berbagai instruksi dapat sampai kepada rakyat, seperti instruksi agar rakyat tetap setia dan patuh hanya kepada ngarsa dalem. Pola Komunikasi dari mulut ke mulut ternyata sangat efektif, berbagai instruksi ternyata sangat dipatuhi oleh seluruh rakyat.
Belanda sangat terkesan betapa besar wibawa Sultan Jogja atas rakyatnya, dan betapa kompak Kesultanan dan Pakualaman dalam semua tindakan mereka. Belanda bermaksud merebut Jawa kembali, dengan menjadikan mereka sebagai boneka sebagaimana dilakukan di daerah lain. Belanda mencoba meyakinkan pada raja yang penuh wibawa ini bahwa tak ada gunanya mengandalkan nasib pada suatu Republik yang masih demikian lemah.
Mulailah dikirimkan utusan demi utusan kepercayaan Belanda untuk mendekati HB IX. Diantaranya Residen E.M. Stok, Dr. Berkhuis, dan Kolonel Van Langen, penguasa militer di Yogya, dan juga dua orang Indonesia yang menduduki jabatan tinggi di pihak Belanda, yaitu Prof Husein Djajadiningrat dan Sultan Hamid II, kawan sekolahnya masa kecil dan di Belanda.
Sultan HB IX tidak mau menemui mereka. Sekali lagi dikirimkan utusan seorang direktur Bank Belanda yang mengeluarkan janji dana berapa pun untuk keraton Jogja asalkan Sultan mau bekerjasama berdiri di pihak Belanda.
Sementara itu, wilayah yang dikemukakan untuk imbalan bagi HB IX adalah daerah Kedu dan Banyumas—wilayah yang dulu merupakan kompensasi atas Perang Diponegoro tahun 1830), kemudian ditambah dengan beberapa daerah di Jawa Timur. Akhirnya ditawarkan seluruh Jawa dan Madura dengan kekuasaan besar sebagai “Super Walinegara”.
Jika saja, Sultan HB IX berubah pendirian tentu, nasib republik muda ini tentu tidak tahu akan seperti apa. Namun, Sultan HB IX nampaknya membaca Belanda posisinya makin lemah di dunia internasional. Ia membaca bahwa Belanda menjadikan harapan terakhirnya pada raja ini.
Untuk itulah para utusan tersebut menawarkan daerah, kekuasaan dan kekayaan yang lebih luas dan lebih besar. Namun sikap Sultan HB IX, tetap sebagai seorang Republiken.
Utusan-utusan itu hanya bertemu dengan saudaranya, seperti Pangeran Prabuningrat, Pangeran Murdiningrat, atau Pangeran Bintoro, untuk menemui mereka dengan alasan Sultan sedang sakit. Memang saudara-saudara Sultan itulah yang Ia minta menemui utusan-utusan tersebut.
Putra putra Sultan VIII yang pernah didik dengan pola yang sama inilah kompak saling dukung mendukung. Mereka kemudian melaporkan tawaran-tawaran sangat menarik itu.
Reaksi Sultan HB IX hanya senyum sinis. Pada saat itu ia benar-benar menginginkan akan kemerdekaan. Keinginannya hanya satu: agar Belanda segera enyah dari bumi Indonesia. Suatu perjuangan yang pernah dilakukan para moyangnya dari Sultan Agung, Sultan HB I hingga Diponegoro.
Peran Kurir dan Serangan Umum
Dengan ruang gerak yang dibatasi di dalam keraton, tidak berarti ia tak mempunyai hubungan dengan yang di luar, terutama para pejuang dan gerilyawan. Dari sinilah peran kurir sangat vital.
Melalui merekalah komunikasi ke dan dari luar kota berlangsung, juga pos yang satu ke pos yang lain. Melalui mereka komunikasi ke dan luar kota berlangsung. Melalui kurir inilah Sultan HB IX dan para menteri negara dapat dihubungi, demikian juga para pimpinan militer seperti Jenderal Soedirman.
Kota Yogya pada siang hari aman tentram, dan tentara Belanda berada pada pos-pos mereka. Namun, begitu malam tiba, meraka tak dapat berbuat apa-apa terhadap serangan gerilya.
Mereka hanya dapat membalas dendam pada pagi harinya dengan melakukan pembersihan di kampung-kampung yang membawa korban jiwa rakyat. Belanda mengabarkan ke dunia internasional, kesan bahwa RI tak adalagi pemimpinnya sebab sudah ditahan dan diasingkan. Kenyataannya jauh berlainan, mereka dicekam ketakutan atas serangan gerilya siasat para pejuang.
Dalam situasi tak menentu pada bulan Februari 1949, Sultan HB IX melihat betapa keadaan menyebabkan semangat juang rakyat sekitar Jogja menurun dan mengendur. Untuk itulah perlu diciptakan kejutan untuk menggugah kembali semangat juang mereka.
Otaknya berfikir keras, apalagi ketika mendengar dari radio luar negeri bahwa akhir Februari 1949 masalah Indonesia –Belanda akan dibicarakan di forum PBB. Bagaimana cara memberitahukan kepada dunia internasional bahawa RI masih hidup dan memberitakan bahwa Belanda sama sekali tidak menguasai keadaan seperti yang mereka kesankan.
Keadaan sudah mendesak, sudah memasuki pertengah Februari. Ia segera mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar Soedirman di tempat persembunyiannya, meminta persetujuan untuk melaksanakan siasatnya dan untuk langsung menghubungi komandan gerilya.
Singkat cerita komandan Gerilya kota Yogyakarta yang dipegang oleh Letnan Kolonel Soeharto datang dan bertemu di kompleks keraton pada 13 Februari 1949.
Sultan HB IX menanyakan kesanggupan Letkol Soeharto untuk mmepersiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu.
Letkol Soeharto menyatakan kesanggupannya dalam kaitan Serangan Umum 1 Maret 1949. Komunikasi selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir. Sebagaimana diketahui, Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil menguasai Yogya dalam enam jam menunjukkan pada dunia internasional, bahwa tentara Republik Indonesia masih ada sekaligus menunjukkan pada dunia internasional bahwa Republik Indonesia itu masih memiliki dukungan yang kuat.
Apakah setelah serangan Umum tersebut persoalan selesai? Sesunguhnya peran Sultan HB IX dalam membela republik belum selesai. Sejarah biasanya menulis dan merekam setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 langsung pada perundingan KMB berupa pernyataan kedaulatan di bulan Desember 1949.