Senin 27 Jul 2020 04:44 WIB

Siasat Sultan HB IX Melawan Pendudukan Belanda

Siasat Sultan Hamengku Buwono IX melawan Belanda

Sultan HB !X tengah mengatur ke datangan TNI dari pulang gerilya
Foto: google.com
Sultan HB !X tengah mengatur ke datangan TNI dari pulang gerilya

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh  Akhmad  Khoirul  Fahmi, Mahasiswa Pascasarjana Unsud dan Pemerhati  Sejarah Islam  Pasca  Diponegoro

Pada   18 Desember  1949 Yogyakarta, sebagai  ibukota RI  diduduki Belanda. Para pemimpin  tertinggi  seperti Sokerno, Hatta, Syahrir dan Agussalim ditahan. Panglima Besar Soedirman memilih  melawan dengan  perang gerilya, demikian pula  beberapa  pemimpin RI  yang lain.

Sedangkan  gerak langkah  Sultan  HB IX  dibatasi  tentara pendudukan.  Belanda hanya menyisakan  bahwa  daerah keraton, Puro  Paku Alam  dan Kepatihan  Danurejan  dinyatakan sebagai daerah  imun  yang  tidak akan diganggu-ganggu. Itulah  aturan yang dibuat Kolonel Van Langen, Komandan  Tentara Belanda di Yogyakarta saat itu.

Sekalipun begitu, dari  keratonlah  SultanHB IX  menjalankan siasatnya.

Pertama kali yang diilakukan  adalah  segala  langkah dan siasatnya,  ini   kompak  bersamaan  dengan  Sri Paku Alam.  Selanjutnya, siasat,  ia  sengaja  menyebarkan  berita   bahwa  dia  “meletakkan jabatan”  sebagai Kepala  Daerah Istimewa  Yogyakarta, kemudian  diikuti oleh  Sri Paku Alam. 

Berita  disebarkan  dari  mulut  ke  mulut  (fluistercampagne) hingga  seluruh  rakyat  di pelosok  kabupaten  mendengarnya. Dengan  hal ini,  soal keamanan  daerah Yogyakarta  menjadi tanggungjawab  tentara pendudukan. Dengan demikian dirinya  dan  Sri Paku Alam  tak  akan dapat diperalat  untuk  membantu  musuh.

Dengan  pola  komunikasi fluistercampagne  inilah  hubungan    antara  raja  dan rakyat  dilakukan. Berbagai instruksi  dapat  sampai  kepada rakyat,  seperti instruksi  agar rakyat  tetap  setia  dan  patuh  hanya   kepada  ngarsa dalem.   Pola  Komunikasi  dari mulut  ke  mulut ternyata sangat  efektif, berbagai  instruksi ternyata sangat  dipatuhi  oleh seluruh  rakyat.

Belanda   sangat terkesan  betapa besar wibawa  Sultan  Jogja  atas  rakyatnya,  dan  betapa  kompak  Kesultanan  dan Pakualaman  dalam semua  tindakan mereka.  Belanda bermaksud  merebut  Jawa kembali, dengan  menjadikan mereka  sebagai  boneka sebagaimana dilakukan di  daerah lain. Belanda  mencoba  meyakinkan  pada raja yang penuh  wibawa  ini  bahwa tak ada  gunanya  mengandalkan  nasib  pada  suatu  Republik  yang masih demikian lemah.

Mulailah dikirimkan utusan  demi utusan   kepercayaan Belanda  untuk  mendekati  HB IX. Diantaranya  Residen E.M. Stok, Dr. Berkhuis, dan Kolonel Van Langen, penguasa militer di Yogya, dan  juga  dua  orang Indonesia  yang menduduki  jabatan  tinggi  di  pihak  Belanda, yaitu  Prof Husein  Djajadiningrat  dan Sultan Hamid II, kawan sekolahnya  masa  kecil  dan di Belanda.

Sultan HB IX tidak  mau menemui  mereka. Sekali lagi  dikirimkan  utusan seorang  direktur Bank Belanda yang mengeluarkan janji  dana  berapa pun  untuk  keraton Jogja asalkan  Sultan  mau  bekerjasama berdiri  di pihak Belanda.

Sementara itu,  wilayah  yang dikemukakan  untuk  imbalan  bagi HB IX  adalah   daerah    Kedu  dan  Banyumas—wilayah  yang dulu  merupakan kompensasi  atas  Perang Diponegoro tahun 1830), kemudian ditambah  dengan  beberapa  daerah  di Jawa Timur. Akhirnya  ditawarkan  seluruh  Jawa   dan Madura  dengan kekuasaan besar sebagai “Super Walinegara”.

Jika  saja,   Sultan HB IX berubah  pendirian tentu, nasib republik  muda  ini  tentu tidak tahu akan seperti apa. Namun,  Sultan HB  IX nampaknya membaca  Belanda  posisinya  makin lemah  di  dunia  internasional. Ia  membaca bahwa  Belanda menjadikan  harapan terakhirnya  pada  raja ini.

Untuk itulah para utusan tersebut menawarkan  daerah, kekuasaan  dan kekayaan  yang lebih  luas dan  lebih  besar. Namun  sikap  Sultan HB IX,  tetap sebagai seorang Republiken.

Utusan-utusan  itu  hanya  bertemu   dengan saudaranya, seperti Pangeran  Prabuningrat, Pangeran Murdiningrat,  atau  Pangeran Bintoro, untuk  menemui  mereka  dengan alasan  Sultan sedang sakit. Memang  saudara-saudara Sultan itulah  yang Ia  minta  menemui  utusan-utusan tersebut. 

Putra putra  Sultan VIII yang pernah  didik dengan pola  yang  sama  inilah kompak saling dukung  mendukung.  Mereka kemudian  melaporkan  tawaran-tawaran  sangat menarik  itu.

Reaksi  Sultan HB IX  hanya senyum sinis. Pada saat itu  ia  benar-benar  menginginkan akan kemerdekaan. Keinginannya  hanya satu: agar Belanda  segera enyah   dari bumi  Indonesia. Suatu perjuangan  yang  pernah  dilakukan  para  moyangnya  dari  Sultan Agung, Sultan  HB I  hingga   Diponegoro.

https: img.okezone.com content 2017 01 06 510 1585376 news-story-saat-sultan-yogya-jenderal-belanda-adu-gertak-siapa-menang-TeluN4vCqF.png

Peran Kurir  dan Serangan  Umum

Dengan  ruang  gerak yang  dibatasi  di  dalam  keraton, tidak  berarti  ia  tak  mempunyai   hubungan  dengan  yang di luar, terutama para  pejuang  dan  gerilyawan. Dari  sinilah peran  kurir  sangat vital.

Melalui  merekalah  komunikasi  ke  dan  dari  luar kota  berlangsung, juga  pos  yang satu  ke  pos  yang  lain. Melalui  mereka  komunikasi  ke  dan  luar kota berlangsung. Melalui  kurir inilah Sultan HB IX dan   para menteri  negara  dapat dihubungi, demikian  juga para pimpinan  militer seperti  Jenderal  Soedirman.

Kota  Yogya  pada siang  hari  aman tentram, dan tentara Belanda  berada pada pos-pos mereka. Namun,  begitu  malam  tiba, meraka  tak  dapat berbuat  apa-apa  terhadap serangan gerilya.

Mereka  hanya  dapat  membalas dendam  pada pagi  harinya dengan melakukan pembersihan  di kampung-kampung yang membawa korban  jiwa  rakyat.  Belanda  mengabarkan ke dunia  internasional, kesan bahwa RI  tak  adalagi  pemimpinnya sebab sudah  ditahan  dan diasingkan. Kenyataannya jauh berlainan, mereka  dicekam ketakutan atas serangan gerilya siasat para  pejuang.

Dalam situasi  tak  menentu  pada  bulan Februari  1949,  Sultan HB IX  melihat  betapa  keadaan menyebabkan  semangat  juang  rakyat sekitar Jogja  menurun dan  mengendur. Untuk  itulah  perlu  diciptakan kejutan  untuk  menggugah  kembali semangat  juang mereka.

Otaknya  berfikir keras, apalagi ketika  mendengar  dari  radio luar negeri  bahwa akhir Februari 1949   masalah  Indonesia –Belanda  akan dibicarakan di  forum PBB. Bagaimana  cara   memberitahukan kepada dunia  internasional  bahawa RI masih hidup  dan   memberitakan bahwa Belanda  sama sekali  tidak  menguasai  keadaan seperti yang mereka  kesankan.

Keadaan sudah  mendesak, sudah memasuki pertengah  Februari. Ia  segera  mengirim  kurir  untuk  menghubungi Panglima  Besar Soedirman  di tempat persembunyiannya,  meminta persetujuan  untuk  melaksanakan siasatnya  dan  untuk  langsung  menghubungi  komandan  gerilya. 

Singkat  cerita   komandan  Gerilya  kota  Yogyakarta   yang dipegang  oleh Letnan Kolonel Soeharto  datang  dan  bertemu  di  kompleks  keraton pada  13 Februari  1949.

Sultan HB IX  menanyakan  kesanggupan Letkol Soeharto  untuk mmepersiapkan  suatu  serangan  umum  dalam waktu  dua  minggu.

Letkol Soeharto  menyatakan  kesanggupannya  dalam  kaitan Serangan Umum  1  Maret  1949. Komunikasi  selanjutnya  dilakukan dengan perantaraan kurir. Sebagaimana  diketahui,  Serangan Umum 1 Maret  1949  yang berhasil  menguasai  Yogya  dalam  enam  jam menunjukkan  pada dunia  internasional, bahwa  tentara Republik Indonesia  masih  ada  sekaligus  menunjukkan  pada   dunia  internasional bahwa Republik Indonesia  itu  masih  memiliki  dukungan yang kuat.

Apakah setelah   serangan Umum  tersebut  persoalan   selesai?  Sesunguhnya   peran  Sultan HB IX  dalam  membela  republik  belum  selesai.  Sejarah   biasanya menulis dan merekam setelah  Serangan  Umum  1 Maret   1949  langsung pada  perundingan  KMB  berupa    pernyataan kedaulatan  di bulan Desember  1949.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement