REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Femina Sagita Borualogo, MA, Doktor Sosiologi (Studi Gender), Pendiri Himawari Edu Daycare
Komnas Perempuan (KP) membuat Undangan Terbuka Seleksi Anggota KP tahun 2020-2024 yang dibuka hingga 30 Juli 2019. Di poin ke-5 persyaratan seleksi komisionernya ini termuat frase “menghormati keberagaman maupun perbedaan orientasi seksual.” Padahal poin “perbedaan orientasi seksual” ini tidak tercantum pada Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Sungguh masuk akal kerisauan publik bahwa narasi tentang mendukung LGBT--istilah yang selama ini umum digunakan di masyarakat untuk menunjukkan perbedaan orientasi seksual--kemudian menjadi diasosiasikan dengan KP.
LGBT pada dasarnya bukan perbedaan yang bisa disetarakan dengan perbedaan agama, ras, suku, maupun strata sosial/ekonomi. Maka dari itu, alih-alih mencari komisioner yang mendukung LGBT, KP sebaiknya memilih anggota komisinya, diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas tinggi serta kesungguhan hati untuk memperjuangkan harkat dan peran perempuan, tanpa terlepas dari konteks pengasuhan.
Mengapa perempuan dikaitkan dengan konteks pengasuhan? Ya, sebenarnya bukan perempuan saja yang bertanggungjawab mengasuh anak. Laki-laki juga memiliki tanggung jawab yang sama.
Dalam konteks pengasuhan anak, Undang-Undang Perlindungan Anak memosisikan ayah (lelaki) dan ibu (perempuan) pada kedudukan setara. UU tidak condong ke ayah, tak pula apriori ke ibu. Artinya, UU Perlindungan mengandung keinsafan yang terefleksikan lewat pandangan bahwa ayah dan ibu merupakan dua orang tua dengan kekuatan pengasuhannya masing-masing.
Keduanya adalah mitra, saling menggenapi, saling mengisi, saling memberdayakan demi proses tumbuh kembang anak secara optimal. Kesetaraan kompetensi antara ayah dan ibulah yang menjadi penanda khas doktrin ketiga pengasuhan yakni kepentingan terbaik anak (the best interest of child).
Patut disayangkan bahwa atensi KP pada aras perempuan (ibu) dan pengasuhan itu terlalu senyap. Itu tidak terlepas dari isi Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005. Perpres tersebut menyebut nama lengkap KP adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Pada pasal tentang tujuan dan organisasi KP, kata "kekerasan" pun tersebar di sana-sini.
Ringkasnya, fokus KP memang menjadi terlalu 'sempit', yakni sebatas pada isu perempuan dan kekerasan. Padahal realitas perceraian dan fenomena pengasuhan atas anak-anak bermasalah sudah sedemikian nyata memanggil kepedulian dan kerja-kerja jangka panjang dari institusi semacam KP.
Di lapangan, sebagian kalangan tetap masih melihat ibu sebagai sosok yang lebih dominan bahkan seolah by default lebih unggul dalam membesarkan anak-anak. Ketika terjadi perceraian, hampir bisa dipastikan, kuasa asuh atas anak-anak yang belum mumayiz akan diserahkan kepada ibunya. Masalah sesungguhnya belum selesai.
Pasalnya, pengasuhan anak pascaperceraian juga mengandung kompleksitasnya sendiri. Ihwal pengasuhan ini perlu diberikan garis bawah setebal-tebalnya sehubungan dengan undangan terbuka KP dalam seleksi komisioner-komisioner barunya.
Penegasan ulang tentang perempuan dan pengasuhan ini kian relevan manakala kita menengok sikap masyarakat luas. Tahun-tahun belakangan ini, ada gelombang perasaan was-was terhadap anak-anak yang dipandang kian penuh sesak dengan masalah.
Masalah kesehatan, masalah sosial, bahkan masalah hukum. Vakumnya pengasuhan, tak pelak, diyakini sebagai salah satu penyebab utama terjerumusnya banyak anak dalam persoalan-persoalan tadi. Merevitalisasi kehadiran ibu dan ayah, alhasil, menjadi solusi prioritas.