REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nora Azizah*
Tidak hanya dunia politik yang menunjukkan rasa tidak suka pada Donald Trump. Sosok yang satu ini ternyata juga tak disukai para musisi dunia.
Awalnya, Donald Trump bikin masalah dengan grup musik papan atas dunia, The Rolling Stones. Saat melakukan kampanye presiden, Trump memutar beberapa lagu milik mereka. Hal ini membuat Rolling Stones gerah.
Pasalnya, ini bukan kali pertama The Rolling Stones menegur tim Donald Trump untuk tak memakai lagu mereka. Pada kampanye Pilpres 2016, Trump juga kedapatan memutar 'You Can't Always Get What You Want' dan 'Start Me Up' milik The Rolling Stones.
Tak hanya itu, setelah menang Pilpres, Trump kembali memakai 'Heart of Stone' sebagai lagu latarnya ketika muncul di panggung. The Rolling Stones sudah menegur pihak Trump agar tak lagi memakai lagu mereka tanpa izin.
Teguran itu nampaknya diabaikan. Tahun ini, Trump kembali kedapatan memutar beberapa lagu milik The Rolling Stones dalam kampanye Pilpresnya. Sontak ini membuat kemarahan grup musik asal London ini geram.
Keith Richards, gitaris The Rolling Stones, bahkan mengucapkan pesan secara frontal pada Trump. Melalui promotornya, Richards mengatakan bahwa tak ada gunanya mendukung Trump, dan pihaknya harus segera menyelesaikan urusan ini.
Protes keras terhadap hak cipta lagu untuk Trump juga datang dari musisi legendaris Neil Young. Bahkan, sikap penolakan Young jauh lebih berani dari The Rolling Stones. Young bahkan menggugat Trump terkait hak cipta lagu.
Sebelumnya, Young sudah memperingatkan tim sukses Trump untuk tak lagi memutar lagunya terkait kampanye. Namun, peringatan itu seolah diabaikan.
Sang rocker Sang rocker mengklaim bahwa lagunya 'Rockin in the Free World' dan 'Devil’s Sidewalk' dimainkan di rapat umum tanpa lisensi. Kedua lagu itu juga sempat diputar oleh Trump pada acara Hari Kemerdekaan di Gunung Rushmore, South Dakota, AS.
Young tak suka dengan hal ini. Tak tinggal diam karyanya dimainkan begitu saja, Young akhirnya mantap menggugat Trump.
Penolakan terhadap Trump juga datang dari Linkin Park. Donald Trump sebelumnya cukup percaya diri membagikan video bergaya kampanye di laman Twitternya. Video tersebut memiliki lagu latar 'In The End' Linkin Park.
Mengetahui hal ini, Linkin Park menyampaikan keberatan. Mereka meminta pihak Trump untuk menghapus video tersebut dan berhenti menggunakan karya mereka.
Dengan cukup keras Linkin Park bahkan mengumumkan tidak mendukung Donald Trump. Pihaknya juga tak sudi segala bentuk karya digunakan Trump atau organisasi terkait.
Pihak Trump tak bisa berbuat apapun. Akhirnya, video yang sudah diunggah tersebut dihapus.
Sudah sampai di sini? Tidak. Protes lebih besar justru datang di akhir Juli lalu. Sejumlah musisi papan atas dunia melayangkan surat terbuka pada Donald Trump.
Mereka menuntut para politisi di Amerika Serikat (AS) meminta izin terlebih dahulu untuk lisensi lagu sebelum dijadikan musik latar. Hal ini dianggap menjadi salah satu cara untuk menghindari kontroversi.
Surat terbuka ini tak main-main. Sejumlah nama tenar industri musik dunia tergabung di dalamnya, seperti The Rolling Stones, Steven Tyler, Pearl Jam, Green Day, Sheryl Crow, Sia, hingga Lorde.
Penolakan dari para musisi dunia ini seolah membuktikan bahwa Donald Trump seolah 'tak diterima', bahkan di industri hiburan sekalipun. Jika memutar musik saja ia dilarang, bagaimana bisa memenangkan hati para pemilih.
Sebelumnya, Trump bisa dikatakan 'kalah' dari para penggemar musik pop Korea (K-Pop). Penggemar K-Pop yang memanfaatkan TikTok menyabotase kampanye Trump beberapa waktu lalu sehingga sepi dari penonton. Ini menjadi gambaran pula bahwa Trump tidak kali ini saja dipermalukan. Suka atau tidak, dunia sudah menyorotnya.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id