Selasa 15 Sep 2020 15:44 WIB

Pulih dari Covid-19, Nyeri Rahang Kok tak Kunjung Hilang?

Nyeri rahang kemungkinan terjadi akibat pasien Covid-19 bernapas lewat mulut.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Reiny Dwinanda
Dokter menggunakan pulse oxymeter untuk memeriksa saturasi oksigen pasien Covid-19. Pasien Covid-19 yang sesak napas dan bernapas melalui mulut rentan mengalami nyeri rahang.
Foto: EPA
Dokter menggunakan pulse oxymeter untuk memeriksa saturasi oksigen pasien Covid-19. Pasien Covid-19 yang sesak napas dan bernapas melalui mulut rentan mengalami nyeri rahang.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pemulihan dari infeksi virus corona berlangsung lama bagi Dr Douglas Dieterich, ahli hepatologi di Rumah Sakit Mount Sinai di New York City, Amerika Serikat. Dieterich sempat menghabiskan beberapa pekan di unit perawatan intensif (ICU) pada bulan Maret setelah tertular SARS-CoV-2 dari pasien.

"Virus ini merusak tubuh saya, paru-paru saya, jantung saya, kaki saya, hidung saya, namun semuanya perlahan pulih," kata Dieterich dilansir Fox News, Selasa (15/9).

Baca Juga

Dieterich mengatakan bahwa dia telah mengalami banyak keluhan kesehatan selama pemulihannya. Yang terbaru adalah nyeri sendir rahang yang dikenal sebagai temporomandibular joint (TMJ).

"Saya diberi tahu bahwa kemungkinan terjadi pernapasan dari mulut terbuka ketika saya berjuang untuk menghirup udara selama bulan-bulan awal pemulihan Covid-19," kata Dieterich.

Dietrich sekarang memakai pelindung mulut untuk mengurangi ketegangan di daerah TMJ dan melakukan terapi fisik. Menurut pakar kesehatan, meskipun tampaknya nyeri rahang sepele dibandingkan dengan mimpi buruk yang dialami pasien Covid-19, ini masih merupakan keluhan yang mengganggu yang dialami banyak penyintas.

Terapis fisik di Thrive Integrated Physical Therapy di New York City menjelaskan, sendi temporomandibular adalah sendi tempat rahang dan telinga bertemu dan sering kali menjadi tempat rasa sakit dan ketidaknyamanan.

"Dengan infeksi Covid-19, banyak pasien tidak dapat bernapas secara efisien dan diberi kompensasi menggunakan otot aksesori di leher untuk membantu mereka bernapas," ujar Tamar Amitay, pemilik Thrive Integrated Physical Therapy.

Amitay menjelaskan, hal ini dapat menyebabkan otot leher yang menarik rahang menjadi terlalu banyak bekerja dan tegang, yang menyebabkan ketidaknyamanan di daerah rahang dan leher. Terapis fisik mengatakan bahwa pernapasan mulut terbuka yang sering terlihat pada mereka yang kesulitan bernapas selama fase akut infeksi Covid-19 dapat "membebani sendi" dan membuatnya tegang.

Sherri Glasser, direktur Terapi Fisik dan Akuatik Metro di New York dan Florida, mengatakan bahwa pernapasan dada bagian atas sangat umum dengan Covid-19 serta kondisi pernapasan lainnya dan dapat menyebabkan ketegangan di leher dan  daerah rahang.

"Selain itu, pasien Covid-19 mengalami lebih banyak stres dan bisa mengatupkan gigi di malam hari, menambah ketegangan di daerah rahang," kata Glasser.

Glasser, ahli terapi fisik manual, menjelaskan bahwa pasien Covid-19 mungkin memiliki postur tubuh yang tidak tepat karena masalah pernapasan dan kelemahan keseluruhan akibat virus yang menyebabkan ketidakseimbangan otot yang dapat membuat ketegangan lebih lanjut pada rahang dan leher. Postur kepala ke depan juga memfasilitasi ketegangan pada otot-otot di depan leher yang menarik TMJ kembali ke telinga bagian dalam. 

"Kesadaran postur tubuh yang buruk dapat menyebabkan penggunaan berlebihan pada otot-otot aksesori pernapasan di depan leher dan dada bagian atas, bukan diafragma," jelas Glasser.

Pasien yang sembuh dari Covid-19 yang mengalami nyeri rahang ini dapat memperoleh bantuan melalui terapi fisik dengan menormalkan postur dan pola pernapasan. Terapi itu dapat mengurangi atau menghilangkan gejala kelainan TMJ yang menyebabkan nyeri wajah dan leher, telinga berdenging, pusing, kelelahan, kehilangan keseimbangan dan sakit kepala.

Dieterich mengatakan bahwa dia mengambil langkah terbaru ini di jalan menuju pemulihan dengan tenang dan senang bisa kembali bekerja bulan ini.

"Saya telah menempuh perjalanan panjang dari memakai ventilator pada bulan April dan bantuan ke oksigen pada bulan Mei. Banyak orang berpikir ini mungkin memakan waktu hingga satu tahun untuk pulih, tetapi saya bertekad untuk mengalahkannya dan kembali ke normal," kata Dietrich.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya