REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*
Pilkada Serentak 2020 akan terasa berbeda dibandingkan pilkada-pilkada sebelumnya. Pandemi Covid-19 yang belum mereda, mengharuskan sejumlah tahapan pilkada dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Disiplin menjadi kata kunci yang ditekankan oleh pemerintah ketika memutuskan melanjutkan Pilkada Serentak 2020.
Secara singkat, Pilkada Serentak 2020 akan digelar di 270 daerah mulai dari tingkat provinsi hingga Kabupaten/kota. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga Rabu (30/9), tercatat ada 715 pasangan calon kepala daerah yang akan ikut bertarung pada pilkada tahun ini. Perinciannya adalah 24 pasangan calon akan ikut dalam ajang pemilihan gubernur dan wagub. Kemudian 691 pasangan akan berkontestasi pada pemilihak kepala daerah tingkat kabupaten dan kota.
Menariknya, jika jelang ajang-ajang pilkada sebelumnya, berbagai pihak mengkhawatirkan pelaksanaan kepala daerah tidak berlangsung bersih, jujur dan adil, pada tahun ini, ada teriakan-teriakan agar pemerintah sebaiknya menunda pelaksanaan pilkada. Doronga ini tak hanya datang dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) saja, namun dua organisasi Islam besar di Indonesia, yakni Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah pun menyuarakannya.
Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sampai mengeluarkan taklimat bahwa Pilkada 2020 harus ditunda sesuai amanat konstitusi. Alasan utama, tentu saja untuk melindungi kesehatan dan keselamatan rakyat Indonesia. Tugas melindungi ini merupakan tugas utama pemerintah.
Berbagai pihak yang menolak khawatir jika pilkada dilanjutkan, maka akan menimbulkan klaster-klaster baru penularan Covid-19. Tanpa adanya pilkada saja, pandemi Covid-19 belum menunjukan tanda-tanda mengembirakan, seperti apa yang disampaikan Wapres Maruf Amin.
Namun, setelah sempat setuju pilkada diundur, kali ini pemerintah memutuskan pilkada jalan terus. Pemerintah beralasan, pilkada harus digelar untuk menjamin hak konstitusional rakyat, dalam memilih dan dipilih sesuai undang-undang. Pemerintah juga tak ingin 270 daerah hanya dipimpin oleh pelaksana tugas jika pilkada ditunda. Termasuk beralasan tidak ada jaminan kapan pandemi Covid-19 berakhir.
Untuk mencegah agar tidak munculnya klaster baru Covid-19, pemerintah memagari pelaksanaan pilkada dengan penegakan disiplin protokol kesehatan dan penegakan hukum yang tegas. Disiplin dan penegakan hukum yang tegas, menjadi dua senjata utama pemerintah dalam pelaksanaan pilkada kala pandemi Covid-19. Pertanyaannya akankah hal itu efektif?.
Disiplin merupakan kata yang mudah diucapkan, namun sulit untuk dilakukan. Sebagai contoh, sejak 14 September digelar operasi yustisi untuk menegakan protokol kesehatan. Selama 16 hari pelaksanaan operasi, hasilnya lebih dari dua ribu pelanggaran yang ditindak. Selama operasi itu pula, denda yang terkumpul mencapai Rp 1,8 miliar. Itulah ilustrasi bagaimana sulitnya menegakan disiplin, meski sudah ada ancaman denda.
Terbaru, Bawaslu menemukan pelanggaran protokol kesehatan dalam kampanye pilkada di 35 kabupaten/ kota, sejak tanggal 28 hingga 30 September 2020. Padahal ini kampanye pilkada baru berjalan beberapa hari saja. Apalagi nanti kalau para tim dan paslon sudah mulai habis-habisan kampanye. Meski begitu pemerintah masih percaya protokol kesehatan pencegahan Covid-19 bisa disiplin ditegakan dalam pilkada serentak.
Pemerintah tetap enggan membahas atau mengeluarkan Perppu Pilkada. Pemerintah menilai Peraturan KPU (PKPU) nomor 13 tahun 2020 sudah cukup tegas mengatur penerapan protokol kesehatan di Pilkada. Memang PKPU mengatur larangan berbagai kegiatan kampanye yang berpotensi mengumpulkan massa. Mereka melarang konser musik, kegiatan budaya, kegiatan olah raga hingga rapat umum. Namun, sanksi yang ada di PKPU terkesan masih 'lembek’.
Bawaslu, sebagai lembaga yang mengawasi tahapan pilkada hanya punya kekuatan memberikan teguran, membubarkan kegiatan kampanye, hingga melaporkan ke pihak kepolisian jika ada pelanggaran kampanye. Apakah polisi bisa langsung menindak jika ada pelanggaran protokol kesehatan saat kampanye pilkada? tidak bisa. Polisi baru bisa menindak jika ada laporan yang masuk ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu.
Sanksi tegas bagi pelanggar protokol kesehatan dalam pilkada seharusnya menjadi syarat mutlak dalam kondisi pandemi Covid-19. Satu-satunya sanksi tegas yang mungkin bakal membuat tim dan paslon takut untuk melakukan pelanggaran adalah diskualifikasi dari ajang Pilkada. Sayangnya, sanksi itu tidak tercantum dalam PKPU. Bawaslu pun tidak berani untuk memberikan sanksi semacam itu, karena akan rawan gugatan mengingat UU Pemilu memang tidak mengatur hal tersebut. Nah, disinilah perlunya adanya Perppu.
Dengan adanya Perppu, yang minimal mengatur sanksi tegas diskualifikasi, maka ada sedikit harapan bahwa kampanye pilkada berjalan dengan menerapkan protokol kesehatan. Namun, tanpa adanya sanksi tegas semacam itu, maka Bawaslu bak hanya wasit sepak bola yang boleh mengeluarkan kartu kuning tapi dilarang mengeluarkan kartu merah.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id