Sabtu 07 Nov 2020 16:12 WIB

Antara Orangtua, Anak dan Gawai saat Pandemi 

Kebutuhan gawai saat pandemi paling krusial.

Rep: Zainur Mahsir / Red: Muhammad Hafil
Antara Orangtua, Anak dan Gawai saat Pandemi . Foto:  Dua bocah bermain congklak dengan menerapkan protokol kesehatan di Lapangan Merdeka, Medan, Sumatera Utara, Ahad (20/9/2020). Kegiatan yang digelar Komite Permainan Rakyat dan Olahraga Tradisional Indonesia (KPOTI) Medan tersebut guna melestarikan permainan tradisional serta mengurangi ketergantungan anak dengan gawai.
Foto: AANTARA/Irsan Mulyadi
Antara Orangtua, Anak dan Gawai saat Pandemi . Foto: Dua bocah bermain congklak dengan menerapkan protokol kesehatan di Lapangan Merdeka, Medan, Sumatera Utara, Ahad (20/9/2020). Kegiatan yang digelar Komite Permainan Rakyat dan Olahraga Tradisional Indonesia (KPOTI) Medan tersebut guna melestarikan permainan tradisional serta mengurangi ketergantungan anak dengan gawai.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Founder Republik Dongeng, Syamsul Yusuf, tak menampik jika kebutuhan gawai saat pandemi covid-19 ini menjadi yang paling krusial. Utamanya untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ). Namun demikian, esensi dari gawai, kata dia, hanya sebagai alat penunjang, bukan untuk mendidik anak di rumah maupun sekolah.

‘’Yang awalnya kita ingin mengurangi penggunaan gawai saat belajar, sekarang malah menggunakan gawai untuk berbagai kebutuhan utama, khususnya untuk sekolah,’’ ujar dia dalam webinar mencetak anak cerdas di tengah pandemi yang diselenggarakan Republika, Sabtu (7/11).

Baca Juga

Dia menambahkan, seperti memberikan pendidikan, pemanfaatan gawai ia sebut masih menjadi tanggung jawab para orang tua. Sehingga, kebutuhan gawai anak yang harus dipenuhi untuk pembelajaran, juga harus diselaraskan dengan pengertian bagaimana menggunakan gawai dan aplikasi di dalamnya dengan bijak.

Dia menegaskan, tak ada salahnya memberikan anak gawai di luar pembelajaran. Mengingat, kemajuan zaman yang terus terjadi dan semakin dalam genggaman. 

Sambungnya, gawai bisa diumpamakan sebagai pisau bermata dua. Sehingga, bisa menjadi manfaat besar asal digunakan anak dengan benar. 

‘’Jika mengutip Sayyidina Ali bin Ali Thalib, didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu. Itu ungkapan yang ada jauh sebelum ada gawai,’’ kata dia.

Ketika mendidik anak usia pelajar dalam memahami gawai, kata dia, para orang tua juga dituntut menanamkan nilai terlebih dahulu, sembari mengawasi. Anak-anak juga harus diberi tahu, jika ada yang mengawasi meskipun gawai adalah alat pribadi.

Lanjutnya, dalam berkomunikasi dengan anak menyoal gawai, para orang tua juga dituntut untuk mempertanyakan dan mendiskusikan apa yang anaknya lakukan di gawai tersebut. Dia menambahkan, transaksi dalam genggaman kini, juga harus menjadi perhatian orang tua. 

‘’Apalagi, dengan banyaknya aplikasi di dalam gawai. Kalau mereka punya banyak aplikasi, apa para orang tua terhubung? harusnya iya, jangan sampai tidak,’’ ucapnya.

Hal itu, menurut dia, dilakukan agar para orang tua juga bisa memantau apa yang dilakukan anak. Termasuk, dengan siapa dan apa saja yang dilakukan anak dengan gawainya.

Dengan alasan tersebut, ia menilai, memberikan gawai pada anak memang harus. Asal dengan batasan dan pendidikan yang harus diberikan pula.

Hal serupa juga ditekankan oleh wakil pemimpin redaksi Republika, Nur Hasan Murtiadji. Menurutnya, selain kesehatan, saat pandemi kali ini, pendidikan juga menjadi sektor yang membutuhkan perhatian lebih.

Dia menekankan, anak-anak yang mendapat pembelajaran jarak jauh, belum tentu mendapatkan feedback yang sesuai. Apalagi, masalah pendidikan jarak jauh saat ini memiliki banyak gap yang kosong.

‘’Ada banyak permasalahan saat ini memang. Sekarang bagaimana kita menjadikan mereka lebih cerdas dengan metode pembelajaran yang ada dengan gawainya,’’ ucap dia.

Reward dan Punishment

Syamsul menambahkan, reward and punishment memang bisa diberlakukan pada anak usia pelajar menyangkut gawai. Di satu sisi, kata dia, cara itu memang baik, namun demikian, jangan sampai anak menandai orang tua sebagai otoriter.

Ada yang perlu dijelaskan menyoal penggunaan gawai itu, sebelum memberikan hadiah dan hukuman. Sambung dia, reward and punishment juga sebenarnya hanya bisa diberikan pada anak di atas kelas 4 SD. Sehingga, penjelasan mengenai reward and punishment bisa lebih dimengerti dan dianggap masuk akal bagi sang anak.

‘’Kalau mengikuti apa yang orang tua mau, kadang kala berbeda dengan anak, anak-anak akan menganggap orangtua egois jika itu dilakukan tanpa alasan. Padahal, si anak mungkin sedang membicarakan pelajaran dengan temannya jauh di ujung gawai. Jadi Alasan harus jelas,’’ ungkap dia.

Alasan reward and punishment yang hanya bisa dilakukan pada anak kelas 4 SD ke atas, menurut dia ada karena rumus mendidik anak yang berupa poin 7x3. Dia menjelaskan, di usia 0-7 tahun pertama, para orang tua harus mendidik anak layaknya raja, dengan memberi setiap kebutuhan penting bagi anak. Asalkan, dengan batasan yang tidak membahayakan fisik dan keuangan orang tua

‘’Barulah, tujuh tahun kedua, didik anak sebagai tawanan atau ajudan. Hingga akhirnya, tujuh tahun terakhir, didiklah anak seperti sahabat,’’ ucapnya.

Kembali pada gawai, ia menyebut, para orang tua juga harus mengetahui gawai anak dilakukan untuk apa saja. Selain dari bagaimana anak menggunakannya, kapan waktu anak selalu memakainya dan manfaat apa saja yang didapat anak.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement