Kamis 07 Aug 2025 17:53 WIB

Sikap Pemaaf yang Dicontohkan Nabi

Nabi SAW tak mengungkit-ungkit kesalahan mereka yang dahulu menzaliminya.

Nabi Muhammad SAW
Foto: Republika.co.id
Nabi Muhammad SAW

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembebasan Makkah (Fathu Makkah) terjadi pada Jumat, 10 Ramadhan tahun kedelapan Hijriyah. Ini adalah momentum penting yang menampilkan wajah Islam sebagai penjunjung tinggi sifat pemaaf.

Sebelumnya, Nabi Muhammad SAW ditemui oleh pamannya, Abbas, dan Abu Sufyan. Keduanya lantas menyatakan diri masuk Islam.

Baca Juga

Abu Sufyan lalu kembali ke Makkah untuk mengabarkan penduduk setempat tentang Rasulullah SAW yang hendak memasuki kota ini dengan pasukan berjumlah besar.

Nabi SAW membagi 10 ribu prajuritnya ke dalam empat kelompok. Masing-masing dipimpin oleh Zubayr bin Awwam, Khalid bin Walid, Sa'd bin `Ubadah, dan Abu `Ubadah al-Jarrah. Beliau berpesan kepada seluruh pengikutnya agar tidak menumpahkan darah kecuali bila memang diserbu terlebih dahulu.

Nabi Muhammad SAW pun berhasil memasuki Makkah tanpa kekerasan. Setelah bertawaf mengelilingi Ka'bah, beliau menghancurkan semua berhala yang ada di sana. Ini menyimbolkan kemenangan Islam. Kebatilan lenyap, sedangkan kebenaran tegak berdiri.

Kemudian, Rasulullah SAW melihat begitu banyak penduduk Makkah yang memenuhi Masjidil Haram. Mereka semua menanti, apa keputusan dari sang penakluk yang dahulunya diusir dari tanah kelahirannya hanya karena berbeda agama.

"Wahai kaum Quraisy! Menurut kalian, apa yang akan kuperbuat kepada kalian?" seru Nabi SAW.

Jawabannya riuh-rendah. Malahan, ada yang gemetar ketakutan menyaksikan Rasulullah SAW di hadapannya. Maka, berkatalah beliau, "Sungguh, aku akan berkata seperti perkataan Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya, `Hari ini tidak ada cemoohan terhadap kalian'. Pergilah, kalian semua telah bebas!"

Maka, berbondong-bondonglah penduduk kota tersebut berpindah ke agama Islam, tanpa paksaan, tanpa intimidasi. Sebab, mereka menyaksikan dan mengalami sendiri betapa mulianya akhlak Nabi SAW. Beliau tidak mengungkit-ungkit kezaliman yang telah dilakukan mereka dahulu sebagai pemuka-pemuka Quraisy pada masa silam.

Diutamakannya pengampunan atas mereka, alih-alih meneruskan bara konflik. Inilah makna pengampunan dan pemaafan yang lebih memprioritaskan kepentingan umum dan kemanusiaan di atas diri pribadi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement