REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Para pekerja migran Indonesia (PMI) yang mencari nafkah di luar negeri umumnya masih terganjal persoalan keuangan. Terbatasnya pengetahuan mereka tentang tata kelola atau literasi keuangan atas penghasilan yang mereka peroleh selama merantau membuat mereka kesulitan menabung. Hampir seluruh penghasilannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di kampung halaman.
Hal itu terungkap dalam penelitian terkait PMI di Hongkong yang dilakukan FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta yang disampaikan Ahad (22/11). Penelitian yang mengambil tema Komunikasi Berbasis Online Pekerja Migran Indonesia (PMI) Hongkong dengan Keluarga dalam Pengelolaan Finansial ini dilakukan sejak 2018. Penelitian didanai Kemenristek/BRIN yang dilakukan di Hongkong, Malaysia, Lombok dan Mataram. Penelitian dilakukan dosen FISIP UMJ, Dr Nani Nurani Muksin, Amin Shabana Msi, dan moderator Mohammad Amin Tohari Msi.
Penelitian tersebut juga menyebutkan literasi keuangan menjadi sangat penting bagi PMI. Mereka diharapkan tidak selamanya menjadi PMI karena sekembalinya ke Tanah Air mereka bisa memperbaiki taraf ekonomi keluarganya agar lebih sejahtera. Karena itu selama merantau penghasilan yang diperoleh harus dikelola dengan baik. Penghasilan yang dikirim ke tanah Air hendaknya dikelola dengan baik untuk pendidikan anak, membeli sawah, rumah atau usaha produktif. "Mereka tidak perlu ke luar negeri lagi menjadi PMI sehingga menjadi keluarga madani yang cerdas," kata Nani.
Menurutnya, tidak sedikit PMI yang penghasilannya habis untuk kebutuhan keluarganya di kampung halaman atau sekedar memenuhi gaya hidup di perantauan. Penghasilan yang diperoleh tidak disisihkan untuk ditabung. Uang tabungan hanya dana sisa dari penghasilan setelah kebutuhan yang dinilai penting telah terpenuhi. Sehingga saat pulang ke Tanah Air, mereka tidak memiliki tabungan yang cukup atau usaha mandiri untuk melanjutkan hidup. "Setelah uang habis mereka ingin kembali menjadi PMI," kata Nani.
Selain masalah literasi keuangan, menurut Amin, komunikasi juga menjadi persoalan pelik. Meski memiliki ponsel dan akses internet, namun biaya komunikasi dengan keluarga telah menyedot sebagian penghasilan mereka. Sedikitnya PMI harus menyiapkan anggaran antara Rp 1 hingga Rp 1,5 juta perbulan untuk membeli pulsa agar dapat berkomunikasi dengan keluarga. "Di Malaysia harpir 50 persen penghasilan PMI habis untuk komunikasi," katanya.
Materi pembicaraan yang dibahas dengan keluarga masih minim yang membahas masalah finansial untuk ditabung. Umumnya masih berkutat kebutuhan sehari-hari sehingga tidak terkelola dengan baik. "Disini menabung masih menjadi kebutuhan sekunder,"kata Amin.
Meski demikian, menurut Amin, para PMI di Hongkong secara hukum terlindungi aturan yang baik. Pemerintah setempat memperhatikan masalah hak azasi PMI seperti hak libur pekerja atau epnghasilan dibawah standar. Saat ini jumlah WNI di Hongkong mencapai lebih dari 170 ribu dan PMI di Hongkong mencapai 160 ribu orang. Mereka bekerja di sektor informal dan lebih dari 5,5 diantaranya bekerja di Makau.
Menurut Amin, di Hongkong banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) asal Indonesia dan asing, yang mengangkat masalah pekerja migran. Hal ini membuat kesadaran soal pekerja migran lebih tinggi. Isu yang diangkat salah satunya terkait dengan literasi keuangan. Hal ini dibutuhkan guna mencegah terjeratnya PMI dengan debt collector atau rentenir.
Bahkan dalam sejumlah kasus ada PMI yang tergoda meminjam uang dari rentenir. Padahal dana yang harus dikembalikannya hingga tiga kali lipat dari uang yang dipinjamkannya. Selain itu tidak jarang pihak rentenir meminta paspor sebagai bukti jaminan.
Sebenarnya Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hong Kong bersama lembaga keuangan perbankan di Hong Kong telah memberikan pelatihan terkait literasi keuangan. Pola yang dilakukan PMI untuk memperoleh tambahan uang bisa dilakukan melalui jasa perbankan. "Ketentuan gadai paspor di Hong Kong tidak diperbolehkan karena paspor dokumen perjalanan bukan untuk kepentingan lain," kata Konsul Protokol dan Konsuler KJRI Hong Kong, Wendi Budi Raharjo.
Kasus serupa juga dialami pekerja asal Filipina, Myanmar dan Kamboja. Pihak KJRI selalu siap memberikan pendampingan secara hukum bagi semua PMI baik yang resmi maupun ilegal. "Penempatan PMI di Hongkong sudah establish, agen sudah jelas, ada job order, sehingga pekerja ilegal bisa dikurangi. Seharusnya awareness sudah bisa dilakukan sejak PMI masih berada di Indonesia," kata Wendi.