Oleh : Nora Azizah*
REPUBLIKA.CO.ID, Sejak akhir 2020, dunia bisnis rekaman global cukup dihebohkan dengan kabar penjualan hak cipta dari para musisi. Pasalnya, nama musisi yang menjual karyanya bukan sembarang nama. Mereka sudah berkarya selama beberapa dekade tetapi rela menjualnya demi tumpukan dolar.
Bayangkan saja, nama Bob Dylan masuk dalam daftar yang menjual hak cipta dari lagu-lagunya. Tak tanggung-tanggung, Dylan menjual seluruh karyanya selama enam dekade pada Universal Music Group (UMG) senilai lebih dari 300 juta dolar AS (sekitar Rp 4,2 triliun).
Tak hanya Dylan, nama Stevie Nicks juga masuk dalam daftar tersebut. Penyanyi bernama lengkap Stephanie Lynn Nicks ini juga melepas hak atas karya-karyanya. Nicks menjual hampir 80 persen katalog lagunya kepada Fleetwood Mc dan Primary Wave senila 100 juta dolar AS (sekitar Rp 1,4 triliun).
Tidak hanya dua nama itu. Grup musik The Killers juga menjual asetnya. Bahkan, musisi muda Calvin Harris ikut menjual asetnya ke perusahaan ekuitas swasta.
Ternyata, kabar para musisi legendaris dunia yang menjual karya-karyanya terus berlanjut. Di awal tahun 2021, penyanyi kenamaan Neil Young juga melakukan hal serupa. Ia menjual 50 persen katalog musiknya yang berisi sekitar 1.180 lagu pada Hipgnosis Songs Fund.
Kesepakatan antara Young dan Hipgnosis Songs Fund muncul ketika kabar Bob Dylan menjual lebih dari 600 lagunya ke Universal. Dari kesepakatan Young dan Hipgnosis, ia mengantongi sekitar 300 hingga 500 juta dolar AS dari penjualan katalog musiknya.
Meskipun dalam setiap kesepakatan berbeda-beda, menjual hak cipta berarti si pembeli bisa menggunakan karya yang dibeli untuk banyak hal. Entah itu untuk tujuan pemasaran seperti iklan, atau dalam beberapa kasus memberikan royalti penulisan lagu.
Ketika para musisi ini seolah ramai-ramai menjual hak cipta lagunya menimbulkan pertanyaan sederhana, apa alasan mereka menjual karyanya? Mungkinkah pandemi membuat para musisi sulit bertahan sehingga melakukan hal demikian?
Ada pendapat dari beberapa pakar musik terkait fenomena penjualan hak cipta lagu. Hal ini bahkan dianggap sebagai sejarah baru di dunia musik, khususnya terjadi saat pandemi.
Jem Aswad, editor musik senior di Variety, menyebutkan, wajar saja bila musisi melakukan hal demikian. Sebab, di masa pandemi Covid-19 hampir semua aktivitas musik lumpuh, termasuk konser. Tak bisa dipungkiri bahwa konser musik menjadi 'mesin uang' di dunia bisnis musik.
Namun, ketika konser tak lagi boleh diselenggarakan secara otomatis juga mematikan mesin uang para seniman musik. Belum lagi, apabila konser sudah mulai digelar saat pandemi, sambutannya belum tentu sama. Banyak orang pasti berpikir ulang untuk pergi ke konser.
Ancaman 'bangkrut' bagi para pemusik juga terjadi ketika mereka tidak lagi menghasilkan uang dari penjualan rekaman fisik. Bahkan, platform musik streaming juga tidak bisa diandalkan. Aliran pendapatan utama mereka mengering yang membuat mereka tak ada pilihan selain menjual hak ciptanya.
Bagi para musisi, hak kekayaan intelektual atau hak cipta penerbitan adalah aset paling berharga. Itu sebabnya aset ini sangat bisa diandalkan, dan sangat berharga ketika dijual. Maka tak heran ketika para musisi berbondong-bondong melepas karyanya.
Sementara, dari sisi ahli keuangan, CEO Primary Wave Larry Mestel, menyebutkan, di situasi pandemi saat ini musisi mungkin mengalam krisis. Itu sebabnya mereka harus berpikir out of the box untuk bertahan.
Namun, menjual hak ciptanya di masa pandemi saat ini juga menjadi waktu yang tepat untuk membuat kesepakatan. Sebab, sukuk bunga saat ini tergolong sangat rendah. Maka tak heran bila hak cipta musik menjadi aset berharga yang bisa dijual.
Tidak hanya itu, bagi para investor, hak cipta musik adalah ladang investasi yang bagus. Bisnis musik menjadi peluang dan juga alternatif karena tergolong aman tetapi juga menghasilkan. Sebagai contoh, katalog Stevie Nicks sudah menghasilkan pendapatan yang stabil selama kurang lebih 30 tahun.
Menjual hak cipta lagu, hal ini memang sah-sah saja dilakukan para musisi. Terlebih seperti yang dijelaskan Aswad terkait posisi para seniman musik terjepit di tengah pandemi. Mereka tidak lagi memiliki aset berharga yang bisa dijual, kecuali karya-karyanya.
Pandemi memang membuat dunia hiburan kian terhimpit. Bahkan hingga kini, kita tidak tahu kapan konser musik bisa digelar. Bagi seorang musisi, jangankan menggelar tur dunia, membuat konser dalam skala kecil saja belum bisa dipastikan. Meski bisa melakukan secara virtual, hal ini tetap saja tidak bisa menjadi mesin uang yang sama dengan konser fisik.
Di Indonesia, pilihan untuk menjual hak cipta dari para seniman musik memang tidak terdengar. Namun, bukan berarti di kemudian hari tak mungkin terjadi. Akan tetapi, apapun itu yang mereka putuskan, semoga menjadi yang terbaik. Toh, kita sebagai penikmat musik tak akan pernah kehilangan karya-karya besar mereka yang tetap bisa didengar sepanjang masa.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id