REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama beberapa tahun belakangan, berbagai studi telah mengaitkan kondisi kurang tidur dengan risiko demensia. Penelitian observasional jangka panjang terbaru juga mendeteksi adanya hubungan antara kedua hal tersebut.
Tidur kurang dari enam jam per hari pada orang dewasa di usia paruh baya menambah risiko demensia yang bisa mereka idap pada usia yang lebih lanjut. Riset berlangsung selama 25 tahun dan telah diterbitkan di jurnal Nature Communications.
Studi longitudinal itu melacak kesehatan peserta selama beberapa dekade. Hasilnya diklaim bukan sebagai temuan konklusif tetapi menawarkan wawasan baru tentang hubungan potensial antara pola tidur lebih pendek di usia paruh baya dan demensia di kemudian hari.
Para peneliti melihat data dari proyek jangka panjang yang disebut studi kohort Whitehall II. Dimulai pada pertengahan 1980-an, penelitian merekrut sekitar 10 ribu subjek berusia antara 35 dan 55 tahun. Tim periset lantas menghubungkan insiden demensia pada kemudian hari dengan durasi tidur peserta.
Hasilnya, risiko demensia di usia lanjut meningkat sebesar 30 persen pada orang dengan durasi tidur pendek (kurang dari enam jam) yang terus-menerus di usia 50-an dan 60-an. Temuan itu jika dibandingkan dengan peserta yang tidur normal selama tujuh jam.
Hubungan tersebut tidak bergantung pada faktor demografis atau sosial lainnya, termasuk masalah kesehatan mental. Pertanyaan besar yang tidak dijawab oleh penelitian ini adalah apakah gangguan tidur pada usia paruh baya secara langsung berkontribusi pada perkembangan demensia.
Begitu pula apakah tidur yang buruk merupakan gejala awal degenerasi saraf yang menyebabkan demensia. Bagaimanapun, Elizabeth Coulthard dari University of Bristol yang tidak terlibat dalam studi, tetap mengapresiasi hasil riset tersebut.
Menurut dia, studi baru itu secara eksplisit mempertimbangkan usia pada penilaian durasi tidur, selain keutamaan periode penelitian yang panjang. Pesan utamanya kepada masyarakat jelas, yakni pentingnya mewujudkan kualitas tidur yang baik bagi orang dengan risiko demensia yang lebih tinggi.
"Studi ini menambah informasi baru mengenai efek kondisi tidur pada kelompok paruh baya. Ini memperkuat bukti bahwa kurang tidur pada usia paruh baya dapat menyebabkan atau memperburuk demensia pada kemudian hari," kata Coulthard seperti dikutip dari laman New Atalas, Jumat (23/4).
Sifat unik dari studi itu memang menawarkan wawasan tentang hubungan antara tidur pendek dan demensia. Namun, tidak diketahui apakah tindakan aktif untuk memperbaiki pola tidur di usia paruh baya dapat secara eksplisit mengurangi risiko demensia di kemudian hari.
Robert Howard dari University College London yang juga tidak terlibat dalam studi mencatat bahwa kondisi tidur yang buruk mungkin merupakan gejala awal penyakit. Pasalnya, ada sejumlah penelitian lain yang mengungkap kontribusi kurang tidur terhadap Alzheimer.
Tidur terbukti memainkan peran penting dalam membersihkan protein beracun dari otak, sehingga tidur yang buruk secara terus-menerus dapat menjadi penyebab terjadinya penurunan kognitif. Dia menyampaikan, tanda-tanda pertama penyakit Alzheimer sudah muncul di otak pasien sekitar 20 tahun sebelum gangguan kognitif terdeteksi.
"Selalu ada kemungkinan bahwa kurang tidur mungkin merupakan gejala awal dari kondisi tersebut, daripada faktor risiko yang dapat diobati," kata Howard.