REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak 2017, nama Bitcoin makin populer berkat kenaikan harganya yang melejit tinggi. Dibangun di atas teknologi block chain, Bitcoin menjadi pintu masuk bagi banyak orang untuk mengenal teknologi desentralisasi.
Konsep teknologi desentralisasi yang dibawa oleh blockchain, memungkinkan setiap server saling terhubung dan memiliki peran yang sama. Dengan membentuk semacam jaringan peer to peer, mengirim mata uang digital akan sama seperti mengirim surel karena tak ada lagi bank sentral yang menengahi transaksi.
Dalam perkembangannya, Bitcoin tak lagi sendiri. Ethereum hadir dengan memper kenalkan konsep smart contract. Dengan sistem kontrak pintar yang dibawa Ethereum, setiap perjanjian yang dibuat di atas platform Ethereum akan mampu secara otomatis mengeksekusi berbagai perjanjian, tanpa adanya perantara.
Di masa pandemi Covid-19, dunia cryptocurrency dan teknologi desentralisasi mendapat napas baru. Konsep decentralized finance atau yang biasa disebut DeFi pun hadir. Setahun yang lalu, ketika DeFi Pulse mulai menerbitkan statistik tentang nilai moneter yang dikunci di DeFi, jumlah totalnya adalah 276 juta dolar Amerika Serikat (AS).
Menurut Defiprime, di 2020, dari 205 proyek DeFi yang terdaftar, 193 di antaranya, dibangun di atas Ethereum. Bagian terbesar dari pasar ini terdiri atas pinjaman aplikasi terdesentralisasi. Beberapa platform lainnya juga memungkinkan pengguna untuk masuk ke posisi leverage atau memanfaatkan margin pinjaman dan memperdagang kan token yang dimiliki.
"DeFi akan menunjukkan ke mampuan Ethereum untuk melakukan se mua layanan keuangan," seperti yang dicatat oleh Chris Burniske dari firma modal ventura Placeholder, seperti yang dilansir dari Entrepreneur, Rabu (17/2).
Sentralisasi Vs Desentralisasi
Hampir semua yang ada saat ini, mulai dari industri keuangan, retail, kesehatan, dan lainnya, bergerak atas regulasi dan ketentuan dari pemerintah. Sebagian besar dari transaksi keuangan yang ada saat ini pun melibatkan setidaknya satu pihak ketiga, seperti bank, yang akan mengaudit dan menyimpan semua detail transaksi.
Mulai dari, proses pendataan, penye lesaian sengketa di kemudian hari, akre ditasi, hingga proses pengawasan untuk menegakkan hukum. Di dunia teknologi, aplikasi yang digunakan sehari-hari, seperti Twitter, Instagram dan Facebook, memonopoli data pengguna mereka de ngan mengumpulkan data pengguna platformnya.
Konsep yang serba terpusat inilah yang coba direvolusi oleh teknologi desentralisasi. Dengan konsep blockchain, sistem ini tidak memiliki otoritas sentral, tapi masih bisa bekerja dengan baik.
Desentralisasi yang dibawa oleh blockchain juga dapat diartikan sebagai suatu sistem, yakni keseluruhan pengambilan keputusan diserahkan kepada para pengguna sistem tanpa adanya salah satu individu yang dapat memaksakan kehendaknya kepada individu lain tanpa persetujuan mayoritas pengguna sistem.