REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salmah Febriani
Perjalanan spiritual manusia dalam mengenal dan mendekat pada Tuhannya memang beragam, penuh rintangan dan tingkatan. Terkadang seseorang yakin dan mantap dalam beribadah dan menerima takdir-Nya, tapi sebaliknya, rasa ragu menghujam dada ketika apa yang diharapkan belum terkabul adanya atau keimanan tengah diuji ketika menerima takdir yang belum sejalan dengan apa yang diinginkan. Sebenarnya, bagaimana yakin ini dalam perspektif al-Qur’an?
Kata yakin terambil dari Bahasa Arab (yaqin) yang berarti hilangnya syak (keraguan), demikian menurut Ibn Faris. Ada istilah ‘ilmu al-yaqin dan tidak ada istilah ma’rifat al-yaqin. Ia adalah ketenangan pemahaman disertai dengan kemantapan putusan. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa yakin melebihi iman, karena iman pada tahap pertama masih selalu disertai tanda tanya dan semacam keraguan sedang yakin adalah hilangnya keraguan dan hati berada dalam kemantapan. Lalu, mengapa ayat di atas menyebut maut (kematian) sebagai yaqin?
Maut (kematian)—seperti ayat yang dikutip pada awal tulisan dinamai sebagai ‘yaqin’ karena tidak seorangpun manusia, apapun agama dan kepercayaannya, jenis kelamin dan suku bangsanya kecuali mengakui (tanpa keraguan sedikitpun) bahwa kematian adalah kepastian, baik sekarang ataupun nanti, tua maupun muda, sehat maupun yang tengah diuji dengan penyakit, seluruh manusia akan menemui ajal (batas akhir) masing-masing dengan waktu yang masih menjadi rahasia-Nya.
Jika kematian dilukiskan al-Qur’an melalui lafadz ‘yaqin’, bagaimana car akita memupuk keyakinan (baik) terhadap Allah sepanjang hidup? Sementara kita tahu, sekelas Kekasih Allah (Khalilullah), Nabi Ibrahim as saja, pernah diliputi keraguan dan hatinya belum mantap soal bagaimana Allah menghidupkan dan mematikan makhluk ciptaan-Nya. Dialog luar biasa ini diabadikan dalam Qs. Al-Baqarah/2: 260.