REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bendungan di China dibangun dengan teknologi canggih. Sistem resapan air di kota-kota spons dirancang dengan sistem mumpuni. Lalu mengapa China masih dilanda banjir besar?
Hujan terlebat baru-baru ini melanda kawasan tengah China. Banjir menghantam sistem kereta bawah tanah, merusak bendungan dan tepian sungai, bangunan dan menyebabkan tanah longsor.
Beijing telah menggembar-gemborkan jaringan bendungan besarnya sebagai ‘obat‘ untuk banjir tahunan yang menghancurkan. Namun, tetap saja banjir dalam beberapa tahun terakhir ini menewaskan ratusan orang dan menenggelamkan ribuan rumah.
Berikut lima pertanyaan tentang mengapa China masih mengalami banjir parah setiap tahun.
Apakah bendungannya berfungsi dengan baik?
China secara historis mengandalkan bendungan, tanggul, dan waduk untuk mengontrol aliran air. Sekitar 30 miliar meter kubik air banjir ‘dicegat‘ tahun lalu oleh bendungan dan waduk di sungai terpanjang di Asia, Yangtze. Bendungan berhasil mengurangi banjir di kawasan hilir termasuk Shanghai, demikian kata kementerian manajemen darurat China.
Namun, skema pengelolaan air yang luas di negara itu tidak mampu menahan banjir, sehingga ada pertanyaan tentang ketahanan bendungan yang dibangun beberapa dekade lalu.
Selasa (20/07) lalu, pihak militer memperingatkan adanya bendungan yang rusak di Provinsi Henan, yang "bisa runtuh kapan saja" setelah hujan deras. Pasukan tentara meledakkan sebuah lubang di bendungan itu untuk melepaskan air dan berlomba untuk memperkuat tanggul lain dengan karung pasir di seluruh provinsi.
Tahun lalu, pihak berwenang di Provinsi Anhui Timur terpaksa meledakkan dua bendungan untuk melepaskan air dari Sungai Chuhe yang terus meninggi ke atas lahan pertanian.
Ketakutan muncul kembali atas ketahanan struktur Bendungan Tiga Ngarai di atas Yangtze, yang merupakan bendungan pembangkit listrik tenaga air terbesar di dunia. Bendungan itu dibangun di daerah yang dilintasi oleh garis patahan geologis.