REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia perlu mengambil langkah tegas dalam mengurangi emisi karbon dalam komitmen iklim (NDC). Studi Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), menyebutkan bahwa pemanasan global telah berdampak pada banyak cuaca dan peristiwa iklim ekstrem di semua wilayah di seluruh dunia akhir-akhir ini.
Penghentian ulang secara bertahap (phase out) operasional batu bara dinilai sebagai salah satu cara untuk mengurangi emisi karbon. Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, selaku praktisi dan aktivis perubahan iklim, menanggapi laporan Asesmen Ke-6 dari IPCC yang baru rilis pada 9 Agustus 2021 lalu.
Menurutnya, dengan kebijakan sekarang ini, lintasan emisi saat ini menempatkan dunia on the track untuk mencapai kenaikan suhu di atas 3 derajat Celcius. Ia menilai bahwa diperlukan langkah tegas, seperti Korea Selatan, yang sudah menghentikan pinjaman untuk proyek batu bara.
"Ini memerlukan keberanian dan political will. Industri batu bara besar, kuat, dan terkoneksi secara politik. Tapi harus ada trade-off, kita ingin masa depan iklim yang nyaman atau berbahaya?" ujar Dr. Dino Patti Djalal dalam konferensi pers Muda Bersuara 2021: Selamatkan Generasi Emas 2045 dari Krisis Iklim, Senin (15/8).
Muda Bersuara 2021: Selamatkan Generasi Emas 2045 dari Krisis Iklim diadakan oleh FPCI bersama 21 universitas di Indonesia. Rangkaian acara ini diselenggarakan pada 4 - 16 Agustus 2021.
Dino melanjutkan, insentif untuk peralihan sumber energi juga dinilai masih sangat kurang. Menurutnya, industri batu bara sudah menyadari perubahan iklim dan mau menjadi bagian dari perubahan.
"Jadi, kita harus melibatkan orang- orang di industri batu bara mulai dari sekarang," katanya.
Laporan IPCC menekankan melesetnya perkiraan kenaikan suhu bumi, yang ternyata akan naik 1,5 derajat Celsius jauh lebih cepat pada tahun 2030. Para pakar iklim di seluruh dunia yang tergabung dalam penyusunan laporan IPCC juga berkesimpulan tidak dapat terelakkan lagi bahwa tindakan manusia adalah penyebab krisis iklim dan bencana alam yang menyertainya.
"Solusi kuncinya adalah penurunan emisi secara agresif, progresif, dan visioner yang disegerakan (rapid)," kata Dino.
Dalam konferensi pers tersebut, Dr. Dino juga menyampaikan rekomendasi kebijakan yang disusun berdasarkan pemaparan dan pendapat dari 30 pakar iklim yang menjadi pembicara dalam rangkaian Muda Bersuara 2021.
Rekomendasi kebijakan ini disampaikan juga sebagai respons terhadap komitmen iklim Indonesia (NDC) terbaru yang dinilai oleh pakar-pakar belum memadai dan tidak sesuai dengan Perjanjian Paris dan rekomendasi ilmiah Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Rekomendasi kebijakan pada Sektor Energi, dihadiri oleh IESR, Yayasan Indonesia Cerah, dan Greenpeace SEA menyebutkan bahwa transformasi energi dapat dilakukan dengan melakukan moratorium pembangkit listrik tenaga batu bara sekarang.