REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Budayawan dan Sejarawan Betawi.
Setelah Konferensi Meja Bundar 1949,muncul gerakan teror Westerling pada 1950 dengan judul Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Westerling seorang kapten tentara Belanda. Ia lakukan gerakan pengacauan di Bandung, kemudian pembantaian ribuan rakyat di Sulawesi Selatan. Ini gerakan yang tak mudah dimengerti selain pengacauan yang juga mereka lakukan di Jakarta.
Saya tinggal di gang Arab, bersebelahan dengan gang Wedana, lalu gang Alfu yang kemdian saya paham ini bahasa Armenia yang artinya ketuhanan.
Kala itu gang Arab kerap diteror. Jeep pasukan Westerling tengah malam lazim melintas.
Saya bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) Taman Sari II. Pulang sekolah bareng dengan anak gang Arab, baik sekelas atau bukan. Nama-namanya saya ingat betul, Uci, Asar, Harun, Buloh
Mereka Betawi. Kami seperti biasa, kalau pulang lewat gang Alfu. Saat itu belum lohor. Tiba-tiba terdengar suara tembakan gencar sekali. Orang-orang tua di gang Alfu teriaki kami supaya masuk got. Kami semua masuk got, kecuali Buloh.
Tembakan terus dar der dor. Tapi taunya tidak mentarget orang melainkan pepohonan. Dalam tembakan gencar kami teriaki Buloh agar masuk got. Sambil menangis ia tetap di jalan pungut buah kedongdong yang berjatuhan ditembak APRA.
Anak-anak:"Buloh ke got!"
Buloh: "Kedongdong sayang kebuang-buang (terus Buloh kunyah kedongdong)".
Memang Bung Karno pernah berkata, tidak jarang revolusi makan anaknya sendiri.
Dalam kasus Buloh, bisa saja terjadi revolusi kasi kedongdong pada anaknya sendiri. Teror Ratu Adil Westerling kagak membuatnya jeri. Ganas Westerling kalah jauh sama nikmat kecut buah kedondong.
Aku tak tahu nama-nama yang kusebut kini ada dimana. Tetapi mereka tetap bertahta dalam memori sejak usiaku baru delapan.