REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Organisasi Meteorologi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa sebagian besar dunia tidak siap menghadapi banjir, angin topan, dan kekeringan, Selasa (5/10). Kondisi itu diperkirakan akan bekerja dengan perubahan iklim dan sangat membutuhkan sistem peringatan yang lebih baik untuk mencegah bencana terkait air.
Seiring pertumbuhan populasi, jumlah orang dengan akses air yang tidak memadai juga diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari lima miliar pada 2050. Jumlah ini naik dari 3,6 miliar pada 2018.
Beberapa tindakan yang direkomendasikan oleh laporan tersebut adalah sistem peringatan yang lebih baik untuk daerah rawan banjir dan kekeringan yang dapat mengidentifikasi. Misalnya, kapan sungai diperkirakan akan meluap. Pendanaan dan koordinasi yang lebih baik di antara negara-negara dalam pengelolaan air juga diperlukan.
"Kita perlu bangun untuk menghadapi krisis air yang mengancam," kata Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia Petteri Taalas.
Laporan tersebut menemukan bahwa sejak 2000, bencana terkait banjir secara global meningkat 134 persen dibandingkan dengan dua dekade sebelumnya. Sebagian besar kematian dan kerugian ekonomi terkait banjir terjadi di Asia, dengan curah hujan ekstrem menyebabkan banjir besar di Cina, India, Indonesia, Jepang, Nepal, dan Pakistan pada tahun lalu.
Frekuensi bencana terkait kekeringan naik 29 persen selama periode yang sama. Negara-negara Afrika mencatat kematian terkait kekeringan paling parah. Kerugian ekonomi paling parah akibat kekeringan terjadi di Amerika Utara, Asia, dan Karibia.
Secara global, laporan tersebut menemukan 25 persen dari semua kota sudah mengalami kekurangan air secara teratur. Selama dua dekade terakhir, pasokan gabungan dari air permukaan, air tanah, dan air yang ditemukan di tanah, salju, dan es di planet ini telah menurun sebesar satu sentimeter per tahun.
Profesor hidrologi dan iklim di Massachusetts Institute of Technology, Elfatih Eltahir, pertumbuhan penduduk akan semakin membebani pasokan air, khususnya di sub-Sahara Afrika. "Ketersediaan air pada populasi yang meningkat membentuk adaptasi air yang cukup mendesak," kata peneliti yang tidak terlibat dalam laporan PBB.