Jumat 04 Mar 2022 08:01 WIB

Begini Risiko Bencana Jika Reaktor Chernobyl Diserang Rusia

Bahan nuklir yang dilepaskan dari reaktor yang sudah rusak memiliki risiko rendah.

Rep: mgrol136/ Red: Dwi Murdaningsih
 Kincir ria yang ditinggalkan berdiri di taman di kota hantu Pripyat, Ukraina, dekat dengan pembangkit nuklir Chernobyl, pada 15 April 2021. Di antara perkembangan yang paling mengkhawatirkan pada hari yang sudah mengejutkan, ketika Rusia menginvasi Ukraina pada hari Kamis, adalah perang di pembangkit nuklir Chernobyl, di mana radioaktivitas masih bocor dari bencana nuklir terburuk dalam sejarah 36 tahun lalu.
Foto: AP Photo/Efrem Lukatsky
Kincir ria yang ditinggalkan berdiri di taman di kota hantu Pripyat, Ukraina, dekat dengan pembangkit nuklir Chernobyl, pada 15 April 2021. Di antara perkembangan yang paling mengkhawatirkan pada hari yang sudah mengejutkan, ketika Rusia menginvasi Ukraina pada hari Kamis, adalah perang di pembangkit nuklir Chernobyl, di mana radioaktivitas masih bocor dari bencana nuklir terburuk dalam sejarah 36 tahun lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Reaktor nuklir Chernobyl di wilayah Ukraina telah berhasil dikuasai oleh pasukan militer Rusia. Peristiwa baku tembak di lokasi tersebut tidak terelakkan dan menimbulkan kekhawatiran akan pelepasan bahan radioaktif dari pembangkit yang pernah mengalami kehancuran besar pada tahun 1986.

Namun fisikawan mengatakan bahwa risiko emisi radioaktif dari akibat kerusakan yang tidak disengaja adalah kecil atau minimal.  

Baca Juga

Ledakan Chernobyl tahun 1986 mengakibatkan keruntuhan tembok dan menutup berbagai ruangan serta koridor. Bagian dalam reaktor bertebaran dan menghasilkan panas yang dapat melelehkan pasir dari dinding reaktor dengan beton dan baja, sehingga membentuk zat seperti lava dan sangat radioaktif yang akan mengalir ke lantai bawah.

Dikutip dari New Scientist, seorang ilmuwan Chernobyl mengatakan sebelum invasi pekerjaan pengawasan berlanjut dan semua sistem keselamatan di pabrik berjalan dengan baik. Namun, sebagian pemrosesan data ilmiah telah ditangguhkan.  

“Menurut perkiraan saya, kenaikan neutron, kalau ada, baru bisa dirasakan di bulan April. Baru setelah itu kami dapat menilai tren yang sebenarnya apakah itu stagnan atau masih tumbuh,” ujarnya. 

Namun Bruno Merk yang berasal dari Universitas Liverpool, Inggris, mengatakan bahwa bahan nuklir yang dilepaskan dari reaktor yang sudah rusak akibat konflik memiliki risiko rendah. “Saya pikir selama tidak ada serangan yang disengaja, risikonya relatif rendah,”

“Ini masalah yang stabil. Jadi saya pikir jika para ilmuwan tidak mengamati ini selama beberapa bulan ke depan, yang menurut saya adalah skala waktu yang masuk akal, saya tidak berpikir bahwa ada risiko yang sangat besar. Ya, dalam jangka panjang, penting untuk mengamati apa yang terjadi," ujarnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement