REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Al Chaidar Abdurrahman Puteh, Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Tim Detasemen Khusus (Densus) Antiteror Mabes Polri menangkap 16 terduga teroris di Sumatra Barat pada Jumat (25/3). Kendati demikian, Ahmad mengatakan bahwa jaringan ke-16 terduga teroris ini belum diketahui. Sebelum ini, Densus 88 Antiteror Polri telah menangkap lima orang tersangka tindak pidana terorisme. Mereka diduga terlibat dalam kelompok Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) pada 9–15 Maret 2022 di wilayah yang berbeda, yaitu Kota Payakumbuh, Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Dharmasraya.
Dari keenambelas terduga teroris tersebut, dua di antaranya yang berjenis kelamin laki-laki ditangkap di Payakumbuh pada Jumat (25/3). Sementara kedua lainnya ditangkap di Tanah Datar sehari setelah penangkapan di Payakumbuh dilakukan. Di waktu yang sama, Densus 88 Antiteror Mabes Polri juga melakukan penangkapan di Kabupaten Dharmasraya yang mencapai 12 teroris. Penangkapan di dua wilayah tersebut dilakukan secara serentak sebelum shalat Jumat dilaksanakan. Setelah ditangkap, 16 terduga teroris tersebut diamankan ke Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan.
Penangkapan tersangka terorisme mengalami kenaikan sejak 2022. Pada 2020, sebanyak 232 orang berhasil ditangkap. Sementara pada 2021, angka tersebut kembali bertambah menjadi 370. Tahun ini, dalam kurun waktu 3 bulan, Densus 88 Antiteror Polri telah menangkap 56 pelaku tindak pidana terorisme. Angka tersebut menunjukkan bahwa pelaku tindak terorisme di Indonesia masih ada dan terus meningkat.
Baru pada 28 Maret 2022, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Gatot Repli Handoko mengatakan Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88) menangkap 16 tersangka teroris. Semuanya berkaitan dengan anggota Negara Islam Indonesia (NII) di wilayah Sumatra Barat. Penangkapan itu dilakukan selama periode tujuh hari ke belakang. Biasanya Polisi sangat cepat menyampaikan nama organisasi atau afiliasinya ke publik melalui berbagai media.
Namun, kali ini sedikit mengundang rasa curiga mengapa harus menunggu tiga hari dan setelah tersangka dibawa ke Jakarta baru dinyakan bahwa mereka adalah berasal dari kelompok teroris NII (Negara Islam Indonesia). Juga dikaitkan bahwa para tersangka yang ditangkap tersebut berencana akan melengserkan Presiden Jokowi sebelum 2024.
Angka 2024 adalah kata kunci untuk menunjukkan bahwa NII adalah nama decoy (kambing hitam) yang sengaja digunakan (atau disalahgunakan) untuk memberikan alasan bahwa Pemilu 2024 harus diundur karena negara menghadapi situasi “perang” dengan NII yang dianggap bisa mengganggu pelaksanaan pemilihan umum.
NII sering dipakai (atau disalahgunakan) oleh banyak rezim politik di Indonesia sebagai alasan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang tidak populer demi mempertahankan kekuasaan atau memperlama masa jabatan. Hampir semua rezim pernah menggunakan isu NII untuk melanggengkan kekuasaannya atau buying-time agar bisa memperlama masa kekuasaan dan menetapkan pelaksana tugas gubernur, bupati dan kepala desa seluruh Indonesia.
Pada masa Soekarno, isu NII dipakai untuk memundurkan pelaksanaan pemilu yang seharusnya dilakukan pada tahun 1954 ke 1955. Juga pada masa Soeharto, pemilu tahun 1971 yang seharusnya dilakukan tahun 1969 mengalmi pengunduran karena isu bangkitnya eka (ekstrim kanan) yang merujuk pada NII. Bahkan Soeharto, melalui Pangkopkamtibnya yang sangat digdaya, Letjen Ali Moertopo, secara kasar menggunakan para veteran perang Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI-TII), nama lain dari Negara Islam Indonesia, untuk memenangkan Golkar. Golkar adalah ‘mesin politik’ yang enggan diakui sebagai “partai politik” oleh Orde Baru untuk memperluas jangkauan kekuasaannya di tengah warga sipil.
Pada masa masa presiden berikutnya, kecuali masa Presiden BJ Habibie, NII sering dimunculkan sebagai pengalihan isu atau krisis multidimensi yang tengah dialami oleh pemerintah yang tak sanggup lagi menyelesaikannya. Namun menggunakan NII sebagai pengalih isu akan sangat berbahaya bagi politik Indonesia yang tumbuh secara tidak natural. NII suatu saat akan besar dan mendapat simpati rakyat karena politik permainan korban.
Para pendukung NII sesungguh sangat kecil dan tak berpotensi untuk mengganggu sistem politik demokrasi Indonesia yang sudah sangat gigantis dan established. Jumlah mereka, sesuai dengan pengakuan Sardjono Kartosoewirjo, hanya 2 juta warga saja; itu pun terbagi ke dalam 18 faksi yang masing-masing mengklaim diri paling sah untuk memegang tampuk estafet Negara Islam Indonesia. Setiap faksi memiliki ego faksional yang sangat pathetik: senang melihat faksi lain jika sedang menghadapi masalah.
Warga NII yang terpecah ke dalam 18 faksi ini pada akhirnya hanya menunggu jumlah mereka mencapai setengah dari penduduk Indonesia (sekitar 140 juta anggota) agar pimpinannya bisa mendeklarasikan perang terhadap Republik Indonesia. Ini adalah formulasi dari Alquran (QS al-Anfal: 65): “Wahai Nabi (Muhammad), kobarkanlah semangat orang-orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh); dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir karena mereka (orang-orang kafir itu) adalah kaum yang tidak memahami.” Ini adalah perbandingan yang berat, satu oarang menghadapi 10 lawan.