REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- CEO IBM Arvind Krishna mengatakan IBM akan mulai melakukan operasi tertib di Rusia. Pada Maret lalu, perusahaan mulai menangguhkan operasi bisnis dan bergabung dengan perusahaan Barat lain untuk menghentikan penjualan di Rusia.
Hal itu dilakukan setelah Rusia melakukan invasi ke Ukraina. Meskipun tidak lagi berbisnis, IBM tetap membayar karyawannya yang berbasis di Rusia. Namun, sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap bank-bank di Rusia telah mempersulit IBM untuk membayar karyawannya.
Oleh karena itu, IBM memutuskan untuk memberhentikan tenaga kerjanya yang berbasis di Rusia. “Proses akan dimulai pada Selasa dan mengakibatkan pemisahan tenaga kerja lokal kami. Ini bukan kesalahan rekan-rekan kami di Rusia. Mereka telah mengalami stres dan ketidakpastian selama berbulan-bulan,” kata Krishna.
“Saya ingin meyakinkan mereka bahwa IBM akan terus mendukung mereka dan mengambil semua langkah baik untuk memberikan dukungan,” kata dia.
Perusahaan mengatakan kepada investor bahwa penghentian bisnis dengan Rusia akan berdampak sangat kecil pada labanya. Dikutip Engadget, Rabu (8/6/2022), Rusia menyumbang sekitar 0,5 persen dari total pendapatan IBM tahun lalu atau 300 juta dolar AS dari total pendapatannya sebesar 57,4 miliar dolar AS. IBM memiliki sejumlah pelanggan kelas atas di Rusia, termasuk bank federal, perusahaan energi, dan Russian Railways.
Bahkan, perusahaan mengadakan Think Summit di Moskow pada tahun 2019 di mana mereka menyoroti banyak klien Rusianya. Namun, sejak Maret, perusahaan telah berhenti menyediakan barang, suku cadang, perangkat lunak, layanan, konsultasi, dan teknologi kepada perusahaan Rusia.