Sabtu 25 Jun 2022 05:35 WIB

Alasan Ahli Pangan Tidak Setuju Pelabelan BPA Kemasan Galon

Produk galon guna ulang sudah memiliki sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI).

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Warga mengisi air ke dalam galon di depot air minum isi ulang galon (ilustrasi).
Foto: Prayogi/Republika.
Warga mengisi air ke dalam galon di depot air minum isi ulang galon (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pakar kimia dan ahli pangan dari beberapa universitas ternama menyampaikan secara scientific, Bisfenol A (BPA) yang ada dalam kemasan galon berbahan Polycarbonat (PC) belum menunjukkan tanda-tanda yang bisa membayakan kesehatan tubuh manusia. Hal itu disebabkan ikatan polimernya yang sangat kuat dan cenderung tidak larut air serta bahannya tahan panas. 

Selain itu, produk galon guna ulang ini juga sudah memiliki sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI). Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmad Zainal Abidin, mengatakan dari sisi ilmiah semua zat kimia yang menjadi prekursor pembuat kemasan plastik itu berbahaya. 

Baca Juga

Tidak hanya BPA, zat-zat prekursor yang digunakan untuk membuat botol atau galon plastik PET ((polyethylene terephthalate) juga sama-sama berbahayanya. Etilena glikol yang menjadi salah satu prekursor yang digunakan untuk membuat botol atau galon plastik PET atau sekali pakai itu sangat beracun dan bisa menyerang sistem saraf pusat, jantung dan ginjal serta dapat bersifat fatal jika tidak segera ditangani.  

“Tapi, dalam bentuk polimernya, zat-zat kimia yang menjadi prekursor bahan pembuat botol atau galon plastik itu beraksi secara kimia, sehingga membentuk polimer PC dan PET, itu menjadi tidak berbahaya. Yang penting, tetap dijaga agar polimer itu tidak terurai kembali menjadi bentuk prekursornya. Karenanya, kemasan-kemasan yang itu ada pengawasannya,” ujarnya, Jumat (24/6/2022).

Zainal menegaskan, jangankan plastik, obat saja juga terbuat dari zat-zat kimia yang berbahaya. Itulah sebabnya, kalau obat itu digunakan sesuai takarannya menjadi bagus, tapi kalau berlebihan obat itu malah bisa membunuh. 

Jadi, menurut Zainal, masyarakat harus mengetahui secara kimia, bahan berbahaya ditambah bahan berbahaya itu bisa menghasilkan bahan yang tidak berbahaya seperti halnya garam dapur, obat, dan policarbonat. Tapi, kalau pencampurannya dilakukan secara fisik, artinya tidak ada reaksi kimia yang terjadi, itu akan menjadi dua kali berbahaya. 

“Jadi menurut saya, masyarakat harus dikasih pengetahuan yang lengkap supaya tidak lagi takut lagi menggunakan kemasan pangan plastik yang sudah mendapat ijin BPOM, sehingga hidup ini menjadi nyaman,” katanya. 

Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Ahmad Sulaeman, mengatakan jika sudah memiliki sertifikat SNI, galon isi ulang berbahan polikarbonat itu sudah dijamin keamanannya. Menurutnya, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) hingga kini juga masih terus mengkaji batas paparan aman asupan harian BPA yang dapat ditoleransi tubuh manusia (Tolerable Daily Intake/TDI). 

"EFSA saja (itu dilakukan) sangat hati-hati dan waktu yang panjang. Mereka melakukannya sejak 2007, dan sampai sekarang saja mereka belum memutuskan dan masih terus me-review. Mereka masih mewacanakan untuk mengubah TDI di sana,” ujarnya. 

Menurutnya peraturan yang ada di Indonesa mengijinkan keberadaan BPA di dalam kemasan pangan termasuk yang berpotensi bermigrasi ke pangan dan menjadi cemaran pada pangan. Menurutnya, batasan migrasi berbagai jenis senyawa kimia dalam semua jenis kemasan pangan itu telah diatur secara komprehensif dalam PERBPOM No.20/2019. Contohnya BPA pada PC serta asetaldehid, etilen glokol, dietilen glikol pada PET.

Menurutnya, batas masksimum migrasi BPA di Indonesia adalah 0,6 bpj dan ini masih sangat sesuai dengan mayoritas batas maksimum migrasi BPA negara-negara maju di dunia lainnya. Contohnya Jepang (2,5 bpj), Korea Selatan (0,6 bpj), RRC (0,6 bpj), bahkan USA tidak ada batas spesifik migrasinya. 

"Jadi, sampai saat ini sepengetahuan saya, tidak ada satupun negara di dunia yang mengeluarkan peraturan kewajiban pelabelan khusus terkait BPA termasuk kepada produsen air minum dalam kemasan,” tukasnya. 

Pakar Teknologi Pangan yang juga dari IPB, Eko Hari Purnomo, menegaskan kandungan BPA yang terkandung dalam galon air minum dalam kemasan guna ulang tidak membahayakan kesehatan. Menurutnya, plastik Polikarbonat (PC) yang mengandung BPA itu digunakan untuk galon air minum hanya karena sifatnya yang keras, kaku, transparan, mudah dibentuk, dan reltif tahan panas.   

Selain itu, kata Eko, kecil kemungkinan  ada migrasi atau perpindahan BPA dari kemasan galon ke dalam airnya mengingat BPA itu tidak larut dalam air. “BPA ini hanya larut dalam pelarut organik seperti alkohol, eter, ester, keton, dan sebagainya,” tukasnya.

Dosen dan Peneliti dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Nugraha E Suyatma,  mengatakan galon-galon air itu  sebelum diedarkan sudah diuji dulu residu BPA-nya berapa. Migrasinya juga sudah dites dulu oleh pabriknya dan sudah memiliki standar keamanan pangan. 

“Jadi, air galon polikarbonat itu relatif aman untuk digunakan dan tidak perlu sampai wajib pelabelan BPA,” tukasnya.

Dosen Jurusan Teknologi Pangan Universitas Teknologi yang juga Anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Hermawan Seftion, mengatakan semua produk pangan itu sudah ada kriteria amannya masing-masing, baik itu secara fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Jadi, menurutnya, pengusaha pangan juga sudah mengikuti standar keamanan pangan itu terlebih dulu sebelum produk mereka diedarkan. 

Begitu juga terkait kemasan yang digunakan, itu berbeda-beda kriteria keamananannya atau batas toleransi amannya. Termasuk soal migrasi monomer dari kemasannya atau yang dijadikan pelapis kemasannya. 

“Makanya, semua produk pangan itu termasuk kemasannya itu perlu memiliki sertifikat SNI atau wajib berlabel SNI, sehingga aman untuk dikonsumsi,” ujarnya.

Jadi, menurutnya, sebenarnya tidak perlu lagi ada pelabelan lainnya seperti BPA ini.  Apalagi, dia melihat penambahan label baru itu nantinya malah akan menambah biaya bagi industri  untuk melakukan pengujian dari kemasan. 

“Pas awal-awal mereka harus mengeluarkan biaya untuk menguji kemasannya, kemudian untuk periode tertentu misalnya setiap 6 bulan atau setahun, mereka juga harus mengujinya lagi untuk dikonfirmasi aman atau tidak. Itu kan biayanya tdak sedikit,” katanya.

Selain itu, Hermawan juga menyampaikan bahwa tidak ada jaminan penambahan label baru itu justru malah membuat para konsumen menjadi lebih nyaman terhadap produk pangan tersebut. “Bisa saja pelabelan yang menyatakan produk itu aman dari monomernya itu malah membuat konsumen menjadi takut menggunakan produk tersebut,” ujarnya. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement