REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda DIY menangkap seorang tersangka tindak kejahatan terhadap anak, eksploitasi dan distribusi materi pornografi dan kesusilaan yang dilakukan tersangka lewat media sosial dan aplikasi percakapan.
Dirreskrimsus Polda DIY, Kombes Pol Roberto Gomgom Manorang Pasaribu mengatakan, pelaku mencari nomor target di grup-grup WhatsApp yang dimiliki. Di sana, banyak yang membagikan nomor-nomor WA, disebut anak yang bisa di video call sex (vcs).
Mendapat nomor, pelaku inisial FAS (27) asal Klaten ini melakukan chat mengaku sebagai anak kelas 1 SMP. Setelah itu, pelaku menghubungi korban dan menunjukkan kemaluannya kepada anak tersebut. Bahkan, meminta nomor WA teman-teman korban.
Roberto menuturkan, pelaku sudah melakukan itu kepada empat anak perempuan lain, dan telah dilakukan sejak Mei 2022. Pengungkapan kasus ini bermula dari laporan Bhabinkamtibmas Kalurahan Argosari, Kapanewon Sedayu, Kabupaten Bantul, DIY.
Mereka meneruskan informasi dari sekolah dan orang tua tentang tiga anak yang dihubungi pelaku. Lewat aplikasi percakapan WA, pelaku menunjukkan alat kelamin dan mengajak anak-anak tersebut untuk melakukan perbuatan asusila melalui VCS.
"Setelah itu HP mereka langsung dimatikan, mereka mengadu ke orang tua. Kemudian kami profiling data, posisi pelaku bisa kami ketahui, dilakukan penangkapan pada 22 Juni 2022 di Klaten," kata Roberto di Gedung Anton Soedjarwo Polda DIY, Senin (11/7/2022).
Pemeriksaan psikologi, didapat FAS memiliki kompetensi memberi keterangan secara mandiri dan bertanggung jawab atas keterangannya terkait tindak pidana tersebut. Dilakukan atas dorongan seksual, distimulasi aktivitas FAS menonton film porno.
Roberto menerangkan, pemilihan korban usia anak-anak karena karakteristik korban dapat lebih memungkinkan tujuannya tercapai. Selain itu, perilakunya menghubungi korban anak dilakukan usai tersangka sudah mendapat informasi dari grup-grup WA.
Tersangka dijerat Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (1) Jo Pasal 25 ayat (1) UU 19/2016 tentang Perubahan atas UU 11/2008 tentang ITE. Penjara maksimal enam tahun atau denda maksimal Rp 1 miliar dan terkait eksploitasi seksual ke anak.
Kemudian, Pasal 29 Jo Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 44/2008 tentang Pornografi, penjara maksimal 12 tahun dan denda maksimal Rp 6 miliar. Setelah ini, Roberto menerangkan, Polisi mencari admin-admin dari grup WA yang pelaku bergabung itu.
"Kita koordinasi Bareskrim, FBI melalui Satgas Violent Crimes Againts Children, aplikator meta.inc pemilik aplikasi Facebook dan WhatsApp untuk analisa serta memblokir semua grup percakapan yang mendistribusikan konten kejahatan di atas," ujar Roberto.
Yang mengejutkan, lanjut Roberto, ditemukan 10 grup percakapan yang satu grup rata-rata memiliki 250 anggota. Bahkan, ada satu akun grup Facebook pelaku yang beranggota 91.000 anggota. Mereka membicarakan dan membagikan nomor WA korban.
"Kita temukan sekitar 3.800 image, terdiri dari video dan foto. Lewat metode analisa wajah, ada 60 gambar merupakan produksi baru, belum beredar dan korban anak-anak. Kita masih melakukan pengejaran, kita harapkan 1-2 hari ini terungkap," kata Roberto.
Kabid Humas Polda DIY, Kombes Pol Yuliyanto menambahkan, ini bisa menimpa siapa saja dan di mana saja dalam kategori anak-anak. Kecanggihan teknologi, terutama ponsel, bisa disalahgunakan mempertontonkan yang tidak selayaknya dilihat anak.
Ia menekankan, jaringan ini tidak cuma melibatkan pelaku-pelaku di Yogyakarta. Karenanya, Ditkrimsus Polda DIY masih terus melacak pelaku-pelaku lain maupun admin, termasuk kemungkinan ada keterlibatan dari luar daerah dan luar negeri.
"Kami turut memberikan apresiasi kepada keluarga korban, korban, yang berani speak up supaya peristiwa ini bisa terungkap," ujar Yuliyanto.