Jumat 15 Jul 2022 06:20 WIB

Intermittent Fasting Disebut Bisa Kurangi Risiko Kasus Parah Covid-19

'Intermittent Fasting' terbukti bisa menurunkan peradangan.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Nora Azizah
'Intermittent Fasting' terbukti bisa menurunkan peradangan.
Foto: www.freepik.com
'Intermittent Fasting' terbukti bisa menurunkan peradangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diet puasa berkala atau intermittent fasting disinyalir bisa mengurangi risiko kasus parah Covid-19. Hal itu diungkap oleh para peneliti di Intermountain Healthcare di Utah, Amerika Serikat.

Hasil studi sudah dipublikasikan dalam jurnal BMJ Nutrition, Prevention and Health. Penulis utama studi, Benjamin Horne, menyampaikan bahwa puasa intermiten telah terbukti menurunkan peradangan dan meningkatkan kesehatan kardiovaskular.

Baca Juga

"Dalam penelitian ini, kami menemukan manfaat tambahan dalam memerangi infeksi Covid-19 pada pasien yang telah berpuasa selama beberapa dekade," kata Horne yang juga menjabat sebagai direktur epidemiologi kardiovaskular dan genetik di Intermountain.

Orang yang melakoni puasa intermiten jenis water fasting selama beberapa dekade kecil kemungkinannya mengalami komplikasi parah akibat infeksi Covid-19. Artinya, menahan diri tidak makan secara berkala namun hanya mengonsumsi air putih.

Para peneliti mengumpulkan data dari pendaftar sukarela di pusat kesehatan. Mereka mengidentifikasi 205 pasien yang dites positif terkena Covid-19 antara Maret 2020 hingga Februari 2021, sebelum vaksin tersedia untuk umum.

Sebanyak 73 orang dari keseluruhan peserta punya kebiasaan berpuasa setidaknya sebulan sekali. Itu juga dipengaruhi oleh kepercayaan mayoritas penduduk Utah, yakni 62 persen beragama Nasrani dan biasanya berpuasa pada hari Ahad pertama setiap bulan.

Para peneliti mendapati kasus rawat inap dan/atau kematian akibat Covid-19 hanya terjadi pada 11 persen orang yang punya kebiasaan berpuasa. Sementara, mereka yang tak punya kebiasaan berpuasa mencatat 29 persen kasus.

Belum diketahui mengapa puasa intermiten terkait dengan risiko rendah penyakit parah akibat Covid-19. Butuh lebih banyak penelitian untuk itu. Para peneliti berteori bahwa puasa dapat mengurangi peradangan. Diagnosis kasus parah Covid-19 telah dikaitkan dengan hiperinflamasi atau peradangan berlebih.

Teori lain dari para peneliti mengaitkan dengan pemrosesan gula darah. Setelah belasan jam berpuasa, tubuh mengubah cara memproses gula darah, beralih dari glukosa menjadi keton, termasuk asam linoleat.

"Ada kantong di permukaan SARS-CoV-2 yang cocok dengan asam linoleat dan dapat membuat virus kurang mampu menempel pada sel lain," ujar Horne, seperti dikutip dari laman unitedpressinternational, Kamis (14/7/2022).

Dia menambahkan, puasa intermiten juga bermanfaat bagi proses alami autophagy. Istilah itu merujuk pada sistem daur ulang yang membantu tubuh menghancurkan dan mendaur ulang sel yang rusak dan terinfeksi.

Tim peneliti menekankan bahwa peserta dalam studi tersebut sudah mempraktikkan puasa intermiten selama beberapa dekade. Siapa pun yang hendak mencoba metode diet tersebut harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter.

Terutama, jika orang tersebut termasuk dalam kelompok lanjut usia, sedang hamil, atau memiliki kondisi seperti diabetes, penyakit jantung, atau penyakit ginjal. Selain itu, puasa berkala juga perlu disikapi dengan bijaksana.

Horne mengatakan, puasa tidak boleh dilihat sebagai alternatif untuk vaksinasi Covid-19. Cara itu hanya sebagai pendekatan pelengkap untuk vaksin dan terapi antivirus untuk mengurangi tingkat keparahan kasus.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement