Kamis 03 Nov 2022 06:59 WIB

Saya NU Wahabi!

KH Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani orang NU tapi punya guru dari kalangan Wahabi

Jamaah membaca Alquran di masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi. KH Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani orang NU tapi punya guru dari kalangan Wahabi. Ilustrasi.
Foto: AP/Hadi Mizban
Jamaah membaca Alquran di masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi. KH Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani orang NU tapi punya guru dari kalangan Wahabi. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Baca Juga

Peneliti Islam di Betawi dan Jakarta

“Saya NU Wahabi!” ujar KH Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani, Lc., M.A.*, ulama Betawi yang terkenal wara dan juga Ketua Umum MUI Provinsi DKI Jakarta, ketika sedang berbicara santai empat mata dengan saya sambil berdiri di depan pintu keluar ruangan kantor MUI Provinsi DKI Jakarta sekitar tahun 2017.  

Ucapan beliau tersebut membuat saya terkejut karena saya dan semua orang yang mengenalnya tahu kalau beliau orang NU, Betawi lagi, kok Wahabi? Beliau membaca ekspresi keterkejutan saya. Karenanya beliau langsung menjelaskan maksud pernyataannya itu bahwa walau dirinya orang NU, tapi belajar dan memiliki guru dari kalangan Wahabi juga saat kuliah di Madinah, Arab Saudi.

Karenanya, walalau dirinya NU, tapi juga Wahabi dalam keilmuan, terutama ilmu hadits yang ditekuninya. Dan beliau menghormati guru-gurunya yang berpaham Wahabi karena ilmu mereka sudah beliau terima dan amalkan.

Selain itu, dengan rasa kagum, beliau melanjutkan pembicaraan dengan menjelaskan peran orang-orang Wahabi di Arab Saudi selama ini dalam menjaga dua Kota Suci, Makkah dan Madinah serta kemampuan mereka dalam melayani jutaan orang yang haji dan juga umroh dari keperluan makan dan minum, air bersih untuk bersuci, akomodasi dan lainnya, terutama dalam menjaga ketertiban pelaksanaan ibadahnya. Pekerjaan melayani ini tentu tidak mudah. Seolah-olah dengan penjelasan tersebut beliau ingin mengatakan kepada saya bahwa kalau bukan orang-orang Wahabi di Arab Saudi, kita tidak akan senyaman ini jika melaksanakan ibadah haji dan umroh.

Saya tidak membalas penjelasan beliau tersebut tentang Wahabi karena saya menganggap beliau adalah guru walau saya tidak sempat mengikuti pengajian kitabnya, tapi banyak ilmu yang beliau sampaikan kepada saya di saat sedang bicara berdua.

Selain itu, saya juga sudah mempunyai referensi lainnya tentang ulama NU yang juga memiliki guru-guru Wahabi, terutama pada disiplin ilmu hadits, yaitu Prof Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, M.A. yang menulis buku berjudul Titik Temu Wahabi-NU. Buku yang ditulisnya ini sepertinya juga memiliki motif yang sama dengan KH Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani, Lc., M.A., yaitu karena menghomati guru-guru mereka berdua yang Wahabi yang telah berjasa mendidik mereka menjadi pakar di bidang ilmu keislaman, terutama ilmu hadits.

Saya jadi menyimpulkan kalau ingin meredakan ketegangan antara orang-orang NU dengan orang-orang Wahabi, kirim saja orang-orang NU belajar ke orang-orang Wahabi seperti contoh kedua ulama NU ini dan juga sebaliknya. Atau pertemukan terus mereka dalam berbagai forum untuk semua bicara dengan semangat saling berbagi ilmu, menjunjung tinggi adab, menghormati perbedaan pendapat dengan bahasan di titik temu, dan dengan semangat untuk memperkuat ukhuwah seperti yang dilakukan oleh PBNU di R20 di Bali. Damai! 

*KH Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani, Lc., M.A. lahir di Kampung Basmol, Kembangan Utara, Jakarta Barat pada tanggal 1 Juli 1957 dari pasangan KH Abdul Ghani bin M Zein bin Muqri bin Sama`un dan Ny. Alijah. Pendidikan formalnya mulai ditempuh saat dia berusia enam  tahun dengan memasuki Sekolah Rakyat (SR) lulus tahun 1969, kemudian SLTP lulus tahun 1972, SMEP lulus tahun 1975, kemudian Madrasah Aliyah Annida, Bekasi lulus tahun 1978 dan mengaji kepada ulama Betawi terkemuka, pakar hadits, Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar al-Dary yang sanadnya atau genelaogi intelektual ulama Betawinya menyambungkan KH Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani dengan ulama Betawi lainnya dalam bagan genealogi intelektual ulama Betawi yang disusun oleh Jakarta Islamic Centre (JIC). 

Setelah dari lulus dari Madrasah Aliyah Annida, Bekasi, beliau kemudian meneruskan kuliah S-1 ke Islamic University Medina, Arab Saudi Jurusan As-Sunnah (Hadits) dan lulus tahun 1982. Beliau kemudian melanjutkan pendidikan S-2 pada universitas dan jurusan yang sama dan lulus tahun 1985. Pada tahun 1986, beliau kembali ke Indonesia untuk berkiprah di tengah-tengah umat dan di berbagai organisasi Islam. Beliau wafat pada siang hari jam 11.59 WIB, Kamis, 27 Mei 2021 di usia 64 tahun. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement