Jumat 18 Nov 2022 19:38 WIB
Muhtamar Muhammadiyah ke-48 2022

Muhammadiyah dan Keadilan Hukum

Muhtamar akan membahas sejumlah masalah menyangkut masalah kebangsaan dan keumatan.

Peserta muktamar (muktamirin) membaca draft rencana jihad Persatuan Islam (Persis) 2022-2027 saat sidang komisi pada Muktamar XVI Persatuan Islam di Soreang, Kabupaten Bandung, Ahad (25/9/2022). Sidang komisi yang merupakan salah satu rangkaian acara Muktamar XVI Persatuan Islam tersebut membahas tentang Qanun Asasi dan Qanun Dakhili, Rencana Jihad serta Bayan atau Rekomendasi Muktamar. Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Peserta muktamar (muktamirin) membaca draft rencana jihad Persatuan Islam (Persis) 2022-2027 saat sidang komisi pada Muktamar XVI Persatuan Islam di Soreang, Kabupaten Bandung, Ahad (25/9/2022). Sidang komisi yang merupakan salah satu rangkaian acara Muktamar XVI Persatuan Islam tersebut membahas tentang Qanun Asasi dan Qanun Dakhili, Rencana Jihad serta Bayan atau Rekomendasi Muktamar. Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Absori, Guru Besar Politik Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Anggota Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah

Muhtamar Muhammadiyah ke-48 berlangsung 18-20 November 2022 di Solo, tepatnya di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah. Tema yang diangkat Muhtamar adalah “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta”.

Muhtamar akan membahas sejumlah masalah menyangkut masalah kebangsaan, keumatan dan kemanusiaan semesta. Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan isu kebangsaan yang akan menjadi agenda pembahasan adalah menyangkut “Muhammadiyah dan perannya dalam memperkuat keadilan hukum”. Selama ini pembangunan hukum baik dalam pembuatan maupun penegakan dianggap masih lemah dan mengandung sejumlah masalah.

Berbagai kasus hukum dari mulai pembuatan sampai penegakan hukum amat  memprihatin, dan Muhammadiyah terpanggil untuk berbuat sesuatu. Dalam pembuatan UU yang dianggap kontroversi di antaranya Perubahan UU KPK yang dinilai memperlemah KPK, UU Cipta Kerja yang dianggap memanjakan investor tetapi memperlemah daya tawar buruh, UU IKN dianggap terlampau cepat diundangkan dan kurang dilakukan kajian mendalam sampai RUU Sisdiknas yang dianggap bercorak liberal. Demikian juga dalam penegakan hukum seperti kasus  Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa yang mendera tubuh Polri, pembebasan aparat kejaksaan Pinangki sulit dipahami melalui nalar sehat dan mafia pengadilan di MA yang melibatkan hakim agung Sudrajat Dimyati tersangka tindak pidana korupsi dan harus berurusan dengan KPK.

Pembahasan tentang penguatan keadilan hukum tersebut beralasan karena kondisi hukum di Indonesia baik pada waktu pembuatan hukum berupa undang-undang maupun dalam penegakan hukum mengalami persoalan yang berkaitan dengan adanya berbagai kepentingan yang mengintervensi keberadaan hukum. Sehingga citra hukum baik dalam  pembuatan undang-undang, bekerjanya hukum maupuan dalam penegakan hukum oleh  lembaga penegak hukum mengalami keterpurukan sehingga hal ini akan mempengaruhi wibawa hukum di tengah masyarakat, juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Beberapa masalah yang muncul seperti dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) yang diajukan di DPR sering diprotes banyak kalangan elemen masyarakat karena dianggap tidak aspiratif dan responsif. Di samping itu setelah disahkan oleh DPR dan Pemerintah menjadi UU masih juga dianggap bermasalah.

Atas dasar itu Muhammadiyah berusaha melakukan pengawalan dan berperan serta dengan mengajukan gugatan uji material (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Dalam berbagai praktek penegakan hukum dalam menangani kasus hukum menunjukkan adanya kecenderungan hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.

Demikian juga dalam penanganan dan penegakan hukum sering ditemukan adanya praktek yang bersifat tebang pilih. Muhammadiyah ikut berperan dalam advokasi, mediasi dan  pendampingan sampai pada tingkat pengadilan.

Pembangunan Hukum

Muhammadiyah memandang dalam pembangunan hukum melalui pembuatan hukum di Indonesia memerlukan arah dan masukan yang memberi nilai tambah yang sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang tertib, teratur, dan berkeadilan dalam sebuah negara hukum, di samping juga melindungi hak-hak asasi manusia. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan arah dan langkah-langkah strategis  untuk meningkatkan cita-cita pembangunan hukum yang dibuat secara demokratis, aspiratif, responsif dan berkeadilan.

Kecenderungan yang ada dalam melakukan pembangunan hukum menghasilkan wajah hukum Indonesia lebih didominasi corak hukum yang banyak mengadopsi hukum masyarakat barat yang liberal-kapitalistik. Hal ini didasarkan alasan kepentingan politik, investasi dan pertumbuhan ekonomi yang membutuhkan adanya jaminan legalitas hukum yang penuh kepastian dan rasional agar hukum dapat berperan dalam mewujudkan stabilitas usaha yang berkelanjutan. Para pemilik modal menginginkan adanya hukum yang sesuai dengan kepentingannya dan mampu memberikan proteksi legalitas baik dalam perolehan perizinan maupun perlindungan hak hak mereka.

Dalam perspektif politik hukum para pembuat hukum masih beranggapan hukum adalah produk kekuasaan negara yang dihasilkan dari keputusan pemerintah yang sah. Mereka beranggapan bahwa tiada hukum kecuali merupakan perintah penguasa. Kekuasaan menjadi sasaran utama sehingga sering kali muncul wajah politik yang pragmatis.

Politik pragmatis berakar pada pemahaman dalam memaknai politik dianggap identik dengan kekuasaan. Politik merupakan alat atau strategi yang dilakukan seseorang atau partai politik atau sekelompok partai politik dalam rangka untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan.

Politik tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang bijak yang sarat dengan nilai (value), berisi asas, prinsip, alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, yakni kemaslahatan untuk masyarakat, bangsa dan negara. Dalam hal ini hukum dianggap sebagai produk politik yang berusaha dijadikan sebagai alat legitimasi kepentingan politik. Hukum yang dihasilkan bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara.

Pada sisi lain meminjam pendapat Satjipto Rahardjo pada saat sekarang secara sosiologis hukum bekerjanya hukum di Indonesia tidak lagi semata-mata sebagai tempat untuk berburu keadilan atau kebenaran, melainkan menerapkan undang-undang dan prosedural. Orang sudah dapat dikatakan menjalankan hukum apabila ia menerapkan peraturan dan prosedur hukum positif. Dengan bertindak seperti itu, orang sudah bisa mengatakan bahwa “justice is done” atau “justice is delivered”.

Muhammadiyah berkepentingan untuk mengingatkan pentingnya melakukan pembangunan hukum yang didasarkan strategi pembangunan hukum responsif dengan menyerap sebanyak mungkin aspirasi dan keinginan dan cita cita mulia masyarakat di bidang hukum. Strategi ini diharapkan akan dapat mewujudkan adanya kebijakan pembangunan hukum yang mampu mendukung tujuan berbangsa dan bernegara  dalam transformasi global, baik dalam skala nasional, regional maupun internasional.

Kebijakan pembangunan hukum nasional yang demikian diharapkan akan dapat menghasilkan  produk hukum yang sesuai dengan cita-cita kehidupan bangsa yang merdeka, berdaulat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya di tengah tengah kancah global yang sedang menerpa befbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Lebih dari itu langkah tersebut akan senergis dengan fundasi ideologi bangsa Indonesia yakni sesuai dengan cita hukum yang bersendikan Pancasila.

Dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara melalui sistem demokrasi diperlukan adanya keinginan yang kuat untuk merekonstruksi demokrasi yang bercorak liberal pascareformasi ke arah corak yang berbasis konsensus berdasarkan asas permusyawaratan perwakilan sebagaimana terdapat pada sila keempat Pancasila. Demokrasi permusyawaratan perwakilan diyakini sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural, majemuk dan beragam. Disamping itu mekanisme demokrasi permusyawaratan lebih sederhana, efektif dan tidak perlu memakan biaya mahal.

Penguatan Keadilan Hukum

Penguatan keadilan hukum dilakukan dengan mengembalikan hukum pada cita cita  bangsa yang merdeka terlepas dari belenggu kolonial. Menyadari  Indonesia merdeka atas berkat rakhmat Allah dan menyadari bahwa pembukaan UUD 1945 merupakan kesepakatan kokoh pendiri bangsa yang menjadi dasar bangunan negara yang merupakan pengejawantahan cita cita bangsa. Pembukaan UUD 1945 merupakan ruh spiritual sebagai keniscayaan yang tidak bisa diubah.

Pembukaan UUD 1945 yang memuat proklamasi kemerdekaan negara Indonesia adalah atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 secara substansial mengandung pokok pikiran tentang apa kita pahami sebagai “peri-keadilan”. Konsepsi pikir dari makna di atas sebenarnya mengarah pada cita cita luhur dan konsepsi ideal dari tujuan masyarakat Indonesia. Pada batang tubuh yakni Pasal 29 UUD 1945 menyebutkan negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Atas dasar itu aparat penegak keadilan, yakni hakim dalam menjatuhkan putusan senantiasa perpegang pada irah irah putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tugas yang dijalankan seorang hakim  adalah  tugas  yang mengatasnamakan Tuhan dan keadilan, pertangungjawaban tidak hanya dihadapan manusia tetapi kepada Tuhannya, dengan taruhan surga dan neraka, karena itu dalam menjalan tugasnya dia tidak boleh main-main dengan mengotak atik pasal atau memplintirnya hanya karena iming-iming materi atau kekuasaan.

Penyadaran dan pesan spiritual yang harus menjadi pola pikir para hakim untuk menegakan keadilan termasuk untuk diri dan keluarganya. Apa yang dilakukan semata dalam rangka menjalankan amanat mulia dalam rangka menjalankan pengabdian (ibadah) kepada Allah, zat penggenggam keadilan. Kalau ketentuan dan upaya sebagaimana yang digambarkan di atas dilakukan, hukum, aparat penegak hukum dan citra lembaga pengadilan akan terangkat kembali dan pada gilirannya akan mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi penegakan hukum hukum di Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement