REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi psikolog keluarga Nuzulia Rahma Tristinarum mengatakan seseorang dapat mengalami trauma pascagempa karena gempa adalah bencana alam yang sifatnya mendadak sehingga tidak ada kesiapan dalam menghadapi dan menjalani kondisinya. Hal ini menyebabkan kondisi stres berat yang berkepanjangan dan menjadi trauma.
"Mereka yang rentan mengalami trauma pascagempa adalah penyintas, yaitu korban gempa yang selamat dan orang yang kehilangan keluarganya karena gempa," ujarnya kepada Republika.co.id, Sabtu (10/12/2022).
Menurut perempuan yang akrab disapa Lia itu, tahapan yang perlu dilakukan adalah atasi dulu masalah fisiknya seperti mengobati luka, memberi makan, tempat tinggal, dan menyediakan kebutuhan sehari hari seperti air dan listrik. Bantu juga korban untuk bertemu dengan keluarganya yang terpisah.
Setelah itu baru masuk pada penanganan psikologisnya, seperti mendengarkan cerita korban, bantu untuk melepaskan emosi yang terpendam mengenai ketakutan, kecemasan dan kemarahannya yang terkait bencana. Kemudian beri edukasi ringan mengenai bagaimana cara mengatasi stres dan kecemasan.
"Jika lebih dari satu bulan maka dapat dibantu juga dengan tenaga profesional seperti konselor psikologi dan psikolog untuk mengatasi traumanya," ujarnya.
Berapa lama bisa sembuh dari trauma? Menurut Lia, berapa lama orang dapat sembuh tidak dapat dipastikan karena akan sangat tergantung kondisi orang tersebut.
Seseorang dapat lebih cepat pulih tergantung dari faktor-faktor yang dimilikinya, seperti kondisi kesehatan, dukungan keluarga besar, dukungan masyarakat, dukungan pemerintah, faktor kepribadian, bagaimana mindset dan skill yang dimiliki dalam menghadapi masalah, kondisi psikologis sebelumnya apakah stres, depresi, menanggung beban emosi dan beberapa kondisi spesifik lain tergantung individu masing masing.