REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aspartam merupakan pemanis buatan yang banyak digunakan dalam berbagai produk makanan dan minuman di dunia. Meski penggunaannya telah mendapatkan izin dari Food and Drug Administration (FDA), beberapa studi menemukan potensi hubungan antara pemanis buatan ini dengan beberapa masalah kesehatan. Salah satu yang terbaru adalah masalah kecemasan.
Kaitan antara aspartam dengan kecemasan ini disoroti dalam studi terbaru dari tim peneliti Florida State University. Studi yang dipublikasikan dalam PNAS ini melibatkan tikus hewan coba.
Selama studi berlangsung, tim peneliti memberikan sebagian hewan coba tikus dengan aspartam. Tikus yang mengonsumsi aspartam tampak menunjukkan perilaku mirip seperti kecemasan setelahnya. Tikus yang mengonsumsi aspartam juga tampak menunjukkan perubahan ekspresi gen pada amigdala.
Amigdala adalah bagian otak yang berkaitan dengan regulasi kecemasan serta ketakutan. Tim peneliti juga menemukan bahwa perubahan amigdala pada tikus yang mengonsumsi aspartam bisa bertahan hingga dua generasi berikutnya melalui tikus jantan.
Menurut panduan FDA, konsumsi aspartam sebaiknya tidak lebih dari 50 mg per 1 kg berat badan per hari. Sebagai gambaran, satu saset pemanis Equal mengandung sekitar 37 mg aspartam, sedangkan soda diet kaleng berukuran 12 ons mengandung sekitar 200 mg aspartam.
Tikus dalam penelitian menunjukkan gejala kecemasan setelah mengonsumsi aspartam dalam jumlah yang tak terlalu banyak. Jumlah tersebut setara dengan 15 persen batas konsumsi harian menurut panduan FDA.
"Jumlah aspartam yang dikonsumsi tikus dalam studi kami merepresentasikan jumlah (aspartam) yang biasa dikonsumsi oleh sebagian individu, 2-4 kaleng kecil soda diet berpemanis aspartam yang berukuran 8 ons per hari," jelas peneliti dan Direktur Center for Brain Repair di Florida State University, Dr Pradeep G Bhide, seperti dilansir Medical News Today.
Mengenal Aspartam
Sebagai pemanis buatan, aspartam dapat memberikan rasa manis 200 kali lebih manis dibandingkan sukrosa atau gula pasir. Aspartam masih memiliki kalori namun karena rasanya yang jauh lebih manis dari gula biasa, aspartam biasanya hanya digunakan dalam jumlah yang lebih sedikit.
Uniknya, aspartam ditemukan secara tidak sengaja pada 1965 oleh James M Schlatter. Kala itu, Schlatter menjilat jari-jarinya saat sedang mengerjakan sebuah obat untuk ulkus. Hal tersebut membuat Schlatter menyadari bahwa senyawa yang dia gunakan memiliki rasa yang sangat manis.
Setelah mendapatkan izin penggunaan dari FDA, produksi komersil aspartam mulai dilakukan pada 1981. Studi mengungkapkan bahwa produksi tahunan aspartam di dunia bisa mencapai 3.000-5.000 metrik ton.