REPUBLIKA.CO.ID, Aspartam merupakan salah satu jenis pemanis buatan yang kerap ditemukan dalam minuman soda diet. Namun, belum lama ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan aspartam sebagai pemanis buatan yang berpotensi karsinogenik atau pemicu kanker. Haruskah orang-orang menjauhi soda diet?
Kabar baiknya, orang-orang tak perlu memusuhi soda diet hanya karena minuman tersebut mengandung pemanis buatan yang berpotensi karsinogenik. Menurut WHO, potensi karsinogenik dari pemanis buatan hanya akan dirasakan oleh orang-orang yang mengonsumsi 9-14 kaleng soda diet setiap hari.
Selain pada minuman soda diet, aspartam juga banyak digunakan dalam berbagai jenis produk makanan dan minuman rendah gula. Beberapa di antaranya adalah es krim dan permen karet. Aspartam yang ditemukan dalam berbagai produk ini aman untuk dikonsumsi selama dalam jumlah yang terbatas.
Menurut anjuran yang dibuat oleh WHO, batas maksimal konsumsi aspartam dalam satu hari adalah 40 miligram per kilogram berat badan. Untuk inidividu dengan berat badan 70 kilogram, batas maksimal konsumsi aspartam dalam satu hari adalah sekitar 2.800 miligram. Sebagai perbandingan, satu kaleng Diet Coke mengandung sekitar 200 miligram aspartam.
Direktur Departemen Gizi dan Keamanan Pangan WHO, Dr Francesco Branca, menilai potensi karsinogenik pada aspartam patut diwaspadai. Akan tetapi, orang-orang tak perlu khawatir untuk mengonsumsi soda diet atau produk lain yang mengandung aspartam bila hanya sesekali.
"Kami tak mengimbau konsumen untuk berhenti mengonsumsi (aspartam) sepenuhnya. Kami hanya menyarankan untuk sedikit membatasi," ujar Dr Branca, seperti dilansir Independent pada Kamis (20/7).
Di sisi lain, Harriet Burt dari Queen Mary University of London menilai para produsen makanan dan minuman perlu mengurangi tingkat rasa manis dalam produk mereka dan mengurangi ketergantungan terhadap beragam bentuk pemanis. Menurut Burt, suatu produk bisa tetap terasa enak meski tak menggunakan gula, garam, atau lemak jenuh secara berlebihan selama menggunakan formulasi yang tepat.
"Formulasi ulang dapat mengurangi gula, garam, dan lemak jenuh berlebih pada makanan secara bertahap, untuk meningkatkan aspek kesehatannya tanpa perlu menggunakan bahan pengganti seperti pemanis non gula," ujar Dr Branca.