REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Najib Azca dan Rani Dwi Putri, Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM)
Pada suatu hari di bulan Oktober tahun 2012, dua polisi terbunuh di Tamanjeka, sebuah dusun yang terletak tinggi di atas bukit di kecamatan Poso Pesisir.
Mereka tengah dalam perjalanan pulang seusai menghadiri kenduri di dusun tersebut. Pada saat yang sama mereka juga tengah menyelidiki sebuah kelompok yang diduga melakukan kekerasan dan aksi terror. Di tengah jalan yang sepi, ketika gelap sudah mulai menyergap, kedua aparat negara itu diserang dan dilumpuhkan oleh sekelompok orang. Belakangan mereka teridentifikasi merupakan bagian dari gerakan jihadi-teroris bernama Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Sejak itu hingga waktu yang panjang Tamanjeka nyaris selalu terbalut teror.
Di mata aparat keamanan, Tamanjeka dianggap merupakan kawasan pendukung MIT. Lokasinya yang berdekatan dg Gunung Biru, kawasan dimana para aktivis MIT ‘bergerilya’ membuatnya gampang dinisbatkan dengan kelompok yang berafiliasi kepada ISIS tersebut. Kenyataannya sejumlah warga Tamanjeka memang bergabung dengan kelompok yang dipimpin oleh Santoso atau Abu Wardah tersebut. Namun menganggap bahwa seluruh warga berjumlah sekitar 400 itu sebagai penyokong MIT jelas merupakan kesembronoan yang fatal.
Demikianlah. Untuk waktu yang cukup panjang warga Tamanjeka terjebak dalam perangkap insekuritas yang pelik: dianggap sebagai pendukung (minimal simpatisan) MIT oleh aparat keamanan dan dicurigai sebagai pembantu aparat (kadang disinyalir jadi ‘informan’). Berada dalam perangkap prasangka yang pelik tersebut meniscayakan kecakapan bersiasat menghindari jebakan yang bisa berujung dua: maut atau bui.