REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak antibiotik diperkenalkan ke dunia pada pertengahan abad ke-20, kematian yang disebabkan oleh infeksi turun dari lebih dari 50 persen menjadi 10-15 persen. Para ahli telah memperingatkan selama beberapa dekade bahwa ancaman resistansi (ketahanan) antibiotik dapat membawa manusia kembali ke masa lalu ketika infeksi sederhana pun mematikan.
Seberapa serius masalah ini? Sebuah studi pada 2019 menemukan lebih dari satu juta orang per tahun meninggal karena infeksi yang terkait dengan mikroba yang resistan terhadap antibiotik. Kondisi ini lebih banyak dibandingkan mereka yang meninggal karena malaria atau dengan HIV/AIDS.
Para ahli menggambarkan resistansi antibiotik sebagai salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia. Ini merupakan sebuah kekhawatiran besar. Mereka memprediksi, jika masalah ini tidak terpecahkan, maka 10 juta orang bisa meninggal karenanya, pada 2050.
Insinyur biomedis di Massachussets Institute of Technology, Paul Blainley, mengatakan resistansi antibiotik akan tetap menjadi masalah pada masa mendatang. "Mempertahankan pengobatan modern dan standar kesehatan seperti yang kita ketahui saat ini akan bergantung pada pengembangan obat antibiotik baru," kata Blainey dilansir DW, Senin (16/1/2023).
Resistansi antibiotik terjadi ketika bakteri berevolusi untuk menghindari antibiotik. Penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan antibiotik adalah pendorong terbesar resistansi. Itu berarti bahwa semakin banyak kita menggunakan antibiotik, semakin buruk masalah resistansi antibiotik.
Antibiotik bekerja dengan mengikat protein target tertentu pada bakteri, kemudian masuk untuk membunuhnya dari dalam. Penisilin, misalnya, melemahkan dinding sel bakteri, menyebabkan sel hancur.
Cara paling umum bakteri menghindari antibiotik berasal dari mutasi yang memungkinkan mereka untuk menghentikan obat dari mengikat bakteri. Ini seperti bakteri mengubah kunci sehingga kunci antibiotik tidak lagi membuka pintu sel.
"Bakteri juga dapat mencapai resistansi dengan memproduksi protein yang menonaktifkan atau memodifikasi antibiotik sehingga tidak lagi mengikat bakteri, atau protein target dimutasi sehingga antibiotik tidak bisa lagi mengikatnya," kata Gerry Wright, seorang ahli biokimia yang berspesialisasi dalam resistensi antibiotik.
Yang terburuk dari semuanya adalah ketika bakteri mengembangkan banyak mekanisme ini sebagai cadangan. Jadi, bahkan jika Anda mengatasi satu masalah resistansi, resistansi lain mungkin mengisi celahnya.
Resistansi antibiotik akan selalu bersama manusia. Ini adalah sifat evolusi oleh seleksi alam yang berarti bakteri akan selalu menemukan cara untuk menghindari antibiotik. Meski begitu, para ahli optimistis dapat menemukan cara untuk membatasi resistansi antibiotik dalam beberapa dekade ke depan, setidaknya cukup untuk menghentikan masalah ini. Berikut penjelasannya:
1. Memodifikasi antibiotik yang ada
Para ilmuwan telah bekerja pada masalah ini dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Salah satu pendekatannya adalah dengan memodifikasi antibiotik lama sehingga mereka mengatasi resistensi. "Antibiotik penisilin dan sefalosporin telah mengalami banyak putaran modifikasi oleh ahli kimia obat untuk meningkatkan sifat seperti obat dan mengatasi resistensi," kata Wright.
Namun menurut Wright, cara ini lebih merupakan taktik penundaan dibandingkan memperbaiki masalah inti resistensi antibiotik secara fundamental. "Pada titik tertentu, ada keuntungan yang semakin berkurang karena senyawa baru memiliki sifat seperti obat yang buruk atau toksisitas yang membuatnya tidak cocok," katanya. Toksisitas adalah kemampuan suatu zat untuk memiliki efek beracun dan menyebabkan kerusakan atau kematian.
2. Mengembangkan antibiotik baru
Strategi lain adalah membuat obat baru, tetapi pendekatan ini belum terlalu berhasil dalam beberapa dekade terakhir. "Kenyataannya adalah bahwa struktur kimia yang benar-benar baru yang telah menghasilkan obat yang saat ini digunakan pada manusia ditemukan pada pertengahan 1980-an," kata Wright.
Tetapi ada beberapa tanda kemajuan. Pertama, para ilmuwan sekarang dipersenjatai dengan teknologi penemuan obat yang jauh lebih canggih, tidak terkecuali kecerdasan buatan (AI). Contoh inovasi ilmiah termasuk pendekatan pembelajaran mesin komputasi untuk menyaring obat secara in silico, dan metode untuk menyaring banyak kombinasi senyawa yang berbeda untuk efek antibiotik.
In silico mengacu pada eksperimen yang dilakukan melalui simulasi komputer. Inovasi baru ini membantu para ilmuwan mengatasi tantangan lama dalam penemuan obat. Harapannya adalah bahwa obat yang tahan antibiotik dapat didorong melalui jalur pengembangan obat dengan cukup cepat agar mereka dapat membuat obat yang lebih baik. Tetapi inti dari masalah ini adalah bahwa resistensi antibiotik berkembang dengan cepat, sedangkan antimikroba (dasar dari obat antibiotik) dikembangkan secara perlahan.
Perjuangan global melawan resistansi antibiotik masih kurang
Seperti halnya perlombaan untuk vaksin Covid-19, mengatasi resistensi antibiotik akan membutuhkan upaya internasional yang luar biasa yang didedikasikan untuk masalah ini. Tapi hal itulah yang menjadi tantangan. Laporan menunjukkan ada 43 antibiotik dalam uji klinis atau menunggu persetujuan pada Desember 2020. Sebagai perbandingan, lebih dari 1.300 agen antikanker berada pada tahap pengembangan yang serupa.
Dalam jangka pendek, beberapa ahli menginginkan lebih banyak regulasi antibiotik sehingga penggunaannya terbatas dan mendesak. Harapannya adalah ini akan memberi kita waktu untuk memperlambat resistensi antibiotik sementara penemuan obat mengejar ketinggalan.
Antibiotik tidak diatur dengan baik di banyak bagian dunia. Misalnya, selama pandemi Covid-19 warga India bisa membeli antibiotik secara bebas di apotek.
Membatasi penggunaan antibiotik di bidang pertanian juga akan berdampak besar. Uni Eropa dan AS telah melarang penggunaan antibiotik untuk ternak, dan pada tahun 2022, Uni Eropa juga mengeluarkan undang-undang untuk melarang semua bentuk penggunaan antibiotik rutin dalam pertanian.