Kamis 21 Nov 2024 16:55 WIB

Bahaya Konsumsi Obat Antibiotik tanpa Resep Dokter

Kemenkes ungkap 41 persen dari masyarakat konsumsi antibiotik oral tanpa resep.

Penggunaan antibiotik (ilustrasi). Kemenkes mengungkap 41 persen dari masyarakat yang menggunakan antibiotik oral mendapatkan obat itu tanpa resep.
Foto: www.freepik.com
Penggunaan antibiotik (ilustrasi). Kemenkes mengungkap 41 persen dari masyarakat yang menggunakan antibiotik oral mendapatkan obat itu tanpa resep.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan mengungkap 41 persen dari masyarakat yang menggunakan antibiotik oral mendapatkan obat itu tanpa resep. Hal ini dinilai merupakan tantangan dalam pencegahan resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR).

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Lucia Rizka Andalusia mengatakan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa 22,1 persen masyarakat menggunakan antibiotik oral, seperti tablet dan sirup. Dari jumlah tersebut, 41 persen mendapatkannya secara mudah, bukan dari sarana pelayanan kesehatan penunjang resmi seperti apotek atau toko obat.

Baca Juga

"Ada yang mendapatkan dari warung, juga mendapatkan dari tempat-tempat peredaran online dan atau tempat-tempat yang tidak sesuai dalam mendistribusikan antimikroba ini," kata Rizka pada Kamis (21/11/2024).

"Di samping itu, juga kita melihat bahwa dalam data sebaran sebanyak 18 provinsi di Indonesia memiliki proporsi perolehan antibiotik oral tanpa resep ini yang masih di atas rata-rata nasional atau di atas 41 persen," ujarnya.

Penggunaan antibiotik tanpa resep dapat menyebabkan AMR, yang dapat berujung pada kematian. Dia memperkirakan bahwa kematian akibat AMR dapat menyentuh angka 10 juta pada 2050.

Lucia menjelaskan, penggunaan antibiotik begitu masif pada saat pandemi karena saat itu masih ada semangat untuk menanggulangi Covid-19. Apapun pengobatannya, kata Rizka, selama tidak fatal, diterima demi keselamatan pasien. Sehingga, para pakar pun mencoba menggabungkan antimikroba dan antivirus dan membagikannya secara massal.

"Tapi akibatnya setelah itu kita harus menanggung masalah yang besar terkait dengan resistensi tersebut, karena penggunaan antimikroba yang begitu masif, begitu banyaknya," kata dia. 

Dia mencontohkan, azithromycin yang sangat dibatasi pemakaiannya saat pandemi, kini dapat mudah dibeli hanya untuk menangani flu ringan. AMR pun menjadi perhatian global, katanya, seperti yang tertuang dalam target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), di mana terdapat target untuk menurunkan prevalensi antimikroba.

Di tingkat nasional, dia melanjutkan, penanggulangan AMR dijabarkan dalam Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba 2020-2024. Pihaknya pun membangun SATU SEHAT sebagai upaya untuk mendata pembelian dan penggunaan antimikroba guna kontrol yang lebih baik. Apabila fasilitas-fasilitas kesehatan terintegrasi, maka semakin mudah untuk melakukan pendataan itu.

Selain itu, Kemenkes juga membuat regulasi terkait pembatasan konsumsi antibiotik di fasilitas pelayanan kesehatan, tata cara pendistribusian antimikroba, serta pembatasan jenis juga penggunaan antimikroba dalam Formularium Nasional. Dia juga menyebut pentingnya edukasi bagi tenaga kesehatan, tenaga medis, dan publik tentang penggunaan antimikroba. Oleh karena itu, kata Rizka, kolaborasi menjadi kunci dalam penanganan isu tersebut.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement