Ahad 07 May 2023 12:55 WIB

Dua Wajah Netizen Indonesia

Media sosial menjadi alat bersuara publik yang takpunya akses.

Media sosial mempunyai dua wajah yang berbeda. Bisa menjadi kontrol sosial namun bisa menjadi alat penyebaran ihoaks. Media sosial (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Media sosial mempunyai dua wajah yang berbeda. Bisa menjadi kontrol sosial namun bisa menjadi alat penyebaran ihoaks. Media sosial (ilustrasi)

Oleh : Setyanavidita Livicakansera, Jurnalis Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi pengguna internet terbesar di dunia. Menurut laporan We Are Social, terdapat 204,7 juta pengguna internet di Tanah Air per Januari 2022.

Jumlah itu naik tipis 1,03 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada Januari 2021, jumlah pengguna internet di Indonesia tercatat sebanyak 202,6 juta.

Tren jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Jika dibandingkan dengan tahun 2018, saat ini jumlah pengguna internet nasional sudah melonjak sebesar 54,25 persen.

Banyaknya jumlah pengguna internet ini, kemudian berdampak pula pada riuhnya jagat maya oleh dinamika para warganet. Secara profil, mayoritas pengguna internet di Indonesia berada pada rentang usia 16-34 tahun. Generasi muda memang menjadi pengguna internet yang mendominasi di negara +62.

Selain itu, beberapa karakteristik lain para wargamaya di Indonesia adalah, banyak menghabiskan waktunya menggunakan aplikasi pesan instan, seperti WhatsApp, Line, dan Telegram. Aplikasi ini tak hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga, tetapi juga untuk berbagai kegiatan seperti bisnis, berita, dan hiburan.

Para netizen Indonesia banyak juga yang terlibat dalam menciptakan konten kreatif, seperti video, musik, meme, dan gambar lucu. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram menjadi tempat populer untuk berbagi konten kreatif.

Dalam banyak kesempatan, para netizen Indonesia juga aktif dalam melibatkan diri dalam isu-isu sosial, politik, dan lingkungan melalui kampanye daring dan petisi.

Aktivitas daring sering kali menjadi cara bagi netizen Indonesia untuk menyuarakan pendapat, menyebarkan informasi, hingga mendukung berbagai perubahan sosial.

Dalam berbagai kesempatan ini pula, wargamaya di Indonesia terbukti telah menjadi sebuah kekuatan baru di negeri ini. Meski, pada 202o, laporan Microsoft berjudul 'Digital Civility Index (DCI)', menempatkan Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei untuk tingkat kesopanan, sekaligus menjadi yang terendah di Asia Tenggara.

Banyaknya penyebaran hoaks, perundungan siber, pelontaran kata-kata kasar, hingga komentar-komentar bernada diskriminasi, menjadi sebab wargamaya Indonesia meraih predikat ini.

Tapi, tak bisa dipungkiri, banyak pula perubahan atau isu yang selama ini tersembunyi, menjadi terkuak, bermula dari suara-suara di ruang maya. Tanpa ada angin yang mulai bergulir dari akun-akun penyampai kegelisahan, mungkin tidak akan ada ruang khusus untuk merokok, dan pastinya tidak akan ada anjuran bagi keluarga pejabat negara untuk tidak flexing di media sosial.

Setiap hari, ada saja isu atau peristiwa yang menjadi perhatian wargamaya untuk dikomentari. Sebagian isu mungkin hanya seputar kehidupan pribadi artis atau sesama wargamaya lainnya, namun sebagian lagi benar-benar menyangkut kemashlahatan hidup orang banyak.

Oleh sebab itu, menilai wargamaya di Indonesia tentu tak hanya bisa dari satu sudut pandang semata. Perlu keterbukaan pikiran untuk mengakui masih banyak pekerjaan rumah terkait literasi digital yang perlu dikejar lagi.

Tapi, wargamaya saat ini juga sudah menjadi kekuatan baru, tempat orang yang tak punya tempat bersuara, mendapat kesempatan kedua untuk didengar. Tak terkecuali juga, bagi orang-orang yang mencari keadilan atau menyuarakan kegelisahannya, sembari memperjuangkan sebuah perubahan besar.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement