Oleh : Agus Yulianto, Redaktur Polhukam Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Akhir-akhir ini, jagat Tanah Air dimarakan dengan pemberitaan nikah beda agama. Kasus ini bermula dari pasangan muda-mudi beda agama (Islam dan Kristen, red) yang mengajukan pemohonan agar bisa menikah ke Disdukcapil dan PN di wilayah Surabaya, Jawa Timur. Pasangan nikah beda agama itu pun mendapat izin dan bisa melangsukan pernikahannya.
Ya, Surabaya sempat digemparkan dengan permohonan pernikahan beda agama pertama kali oleh RA dan EDS. Keduanya mengaku saling mencintai dan diketahui RA merupakan seorang muslim sedangkan EDS pemeluk agama Kristen.
Berhasil. Pernikahan beda agama antara RA dan EDS pun kemudian diikuti para pasangan nikah beda agama lainnya. Dan gonjang ganjing nikah beda agama pun semakin marak. Tentunya, hal ini pun menjadi perhatian semua pihak, khususnya umat Islam, dan termasuk pemerintah.
Hanya saja, fenomena maraknya pernikahan beda agama ini tampak dianggap 'lumrah' oleh segelintir pihak. Secara sosiologis, apa sebetulnya penyebab yang membuat orang menikah beda agama?
Sejumlah pakar pun mengutarakan pendapatnya mengenai penyebab nikah beda agama. Misalnya, pergaulan bebas muda-mudi lintas-agama. Ini biasanya membawa efek menuju perkawinan beda agama.
Ada juga yang mengatakan bahwa faktor yang melatarbelakangi pernikahan beda agama adalah konsekuensi dari keberagaman agama dan budaya yang ada di Indonesia khususnya.
Di Indonesia, dalam UU Perkawinan memang tercatat bahwa perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Nah, untuk perkawinan beda agama, hal ini menjadi lemah perlindungannya dan bahkan menjadikan kerentanan terjadinya kekerasan kepada anggota keluarga beda agama. Dalam hal ini, khususnya kepada perempuan dan anak. Terutama bila terjadi sengketa bahkan perceraian, maka biasanya akan merugikan perempuan.
***
Sebagaimana diketahui, baru-baru ini, Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang melarang pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama.
Namun faktanya, SEMA itu tak menghentikan pasangan beda agama untuk menikah. Buktinya, pada bulan Juli 2023, terdapat 24 pasangan nikah beda agama.
Meski memang mereka kali ini mencatatkan pernikahannya di luar negeri kemudian di register ulang di Tanah Air. Namun, maraknya nikah beda agama saat ini jelas menjadi perhatian khusus bagi umat Islam.
Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Ibrahimy (UNIB) Jawa Timur, HM Baharun bahkan menyebut, umumnya jika sudah terjadi perkawinan, mereka lantas bilang bahwa itu wujud toleransi beragama. Di sinilah pasangan nikah beda agama itu tidak paham apa itu toleransi.
Sikap toleransi adalah tidak lain merupakan interaksi antarpemeluk agama yang harus saling menghormati masing- masing. Sehingga, toleransi dinilai bukan berarti perlu diwujudkan dengan pernikahan yang suci secara berbeda dalam syariat.
"Toleransi secara sosiologis dinilai tidak memerlukan atau tidak sama dengan toleransi secara teologis," kata Baharun seperti dikutip Republika.co.id.
Pemahaman yang tidak semestinya itulah yang kemudian mendorong pasangan muda-mudi beda agama, mencari berbagai celah untuk tetap bisa menikah. Meskipun telah terbit SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang melarang pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama, tapi faktanya, masih banyak masyarakat yang berbeda agama melangsungkan pernikahan di Indonesia.
Seperti yang diungkapkan seorang konselor pernikahan beda agama, Achmad Nurcholis. Dia mengatakan, sampai saat ini, dirinya masih banyak menikahkan pasangan yang berbeda agama. Bahkan, dia menyebut, pada Juli 2023, total 25 pasangan beda agama yang telah dinikahkannya. Itu artinya, meski SEMA sudah beredar, tapi pasangan nikah beda agama tetap melenggang.
Ya, secara agama, pasangan yang berbeda agama sejak dulu bisa melangsungkan pernikahan di Indonesia. Namun sayangnya, pemerintah justru berpikirnya masih terbelakang. Inilah problemnya.
Sebab, di komunitas agama-agama justru semakin terbuka, di agama apapun semakin tidak sulit. Ini yang seharusnya direspons positif oleh pemerintah. Tapi, kenyataannya justru sebaliknya.
Dampaknya, tren nikah beda agama selalu meningkat setiap tahunnya. Dan surat edaran yang dikeluarkan MA tersebut, menjadi 'macan ompong' tidak berpengaruh terhadap praktik nikah beda agama di Indonesia. Pasalnya, di lapangan, mereka tetap saja menikah.
Kendati demikian, pengadilan tidak dapat mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan itu. Hanya saja, masih ada cara bagi pasangan berbeda agama yang ingin mencatatkan pernikahannya. Mereka hanya memiliki satu peluang, yaitu harus ke luar negeri dulu untuk mendapatkan sertifikat. Setelah itu, baru kemudian didaftarkan ulang di Indonesia.
Di sisi lain, pembentukan keluarga sakinah mawaddah warohmah, jelas sangat dibutuhkan untuk keutuhan rumah tangga. Memiliki pemahaman bahwa keluarga itu seperti sebuah bangunan yang berdiri dengan berbagai pilar.
Salah satunya adalah fungsi keagamaan. Dalam fungsi keagamaan ini, tentunya keluarga akan menjadi tempat untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai agama. Sehingga, anggota keluarga memiliki akhlak yang baik dan lebih bertaqwa.
Barangkali, bila pernikahan dilakukan beda agama, perlu dipertimbangkan kaitannya dengan nilai-nilai di dalam agama-agama yang berbeda tersebut, dan memastikan bahwa keimanaan, ketaqwaan, dan tentunya toleransi dapat diperoleh di keluarga tersebut.
Kemudian juga ada fungsi perlindungan, bahwa keluarga harus memastikan anggota keluarganya mendapat perlindungan, sehingga keluarga menjadi tempat yang aman dan nyaman. Perlindungan ini termasuk juga perlindungan secara hukum.
Ya, tentunya mempersiapkan bagaimana seseorang membina rumah tangga, maka harus dimulai dari pemilihan pasangan hingga hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk menikah.