Oleh : Muhammad Hafil, Redaktur Agama Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Kebebasan berekspresi sangat mendapatkan tempat di negeri ini. Semua pelaku seni, budaya, sastra, diberi ruang yang sangat besar untuk berkarya dan dinikmati oleh masyarakat.
Buktinya, acara konser-konser musik, pagelaran seni dan budaya, teater, film, sangat menjamur. Namun, semua itu berjalan karena kepatuhan terhadap norma-norma, adab ketimuran, hingga nilai-nilai keagamaan yang dijamin oleh undang-undang.
Selama ini, karya-karya seni dan budaya itu bebas dikonsumsi oleh secara legal oleh masyarakat. Karena, ada pengawasannya. Di film, ada Lembaga Sensor Film (LSF) yang menyeleksi film-film yang layak tayang di masyarakat. Di penyiaran dan musik, ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menyemprit stasiun televisi atau radio jika ada tayangan atau siaran musik yang tak sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat.
Karena itu, siapa pun yang ingin karya seninya dinikmati oleh masyarakat Indonesia, harus mematuhi nilai-nilai tersebut. Misal tak menghasilkan atau membawakan karya-karya cabul, mesum, pornografi, menista agama, hingga konten LGBT.
Namun, sistem pengawasan ini rentan dan bisa luput saat pelaku seni membawakan karyanya secara live. Misalnya, saat pertunjukkan konser musik. Meskipun, sebelum aksi panggung, para pelaku seni sudah di-briefing untuk membawakan karyanya secara wajar dan tak menentang adab dan norma masyarakat serta agama yang dianut di masyarakat.
Ini bisa terlihat saat aksi panggung grub musik The 1975 di Malaysia beberapa pekan lalu.
Viral di media sosial momen ketika vokalis band The 1975, Matty Healy, marah-marah mengkritik Undang-Undang Anti-LGBT Malaysia saat konser di negeri jiran. Parahnya, video yang tersebar di media sosial memperlihatkan pentolan The 1975 mencium teman sesama jenis di atas panggung di Malaysia.
Pemerintah Malaysia langsung menghentikan festival musik di ibu kota Kuala Lumpur pada Sabtu (22/7/2023) sehari setelah momen tersebut. The 1975 dilarang tampil lagi di Malaysia.
"Tidak akan ada kompromi terhadap pihak mana pun yang menantang, meremehkan, dan melanggar hukum Malaysia," kata Menteri Komunikasi Fahmi Fadzil dalam sebuah unggahan Twitter, Sabtu (22/7/2023).
Penyelenggara festival Future Sound Asia (FSA) meminta maaf atas pembatalan acara tersebut, menyusul perilaku dan ucapan kontroversial Healy. Dikatakan manajemen The 1975 telah berjanji band akan mematuhi pedoman kinerja. "Sayangnya, Healy tidak menghormati jaminan ini," katanya dalam sebuah pernyataan.
Itu yang namanya kecolongan. Sudah membuat janji saja untuk mematuhi pedoman kinerja, mereka masih melakukan aksi mendukung LGBT yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai di Malaysia.
Band tersebut sejatinya juga akan manggung di Jakarta, Indonesia. Untungnya, karena buntut kisruh di Malaysia tersebut, konser mereka batal dilakukan di Indonesia. "Karena keadaan saat ini, tidak mungkin melanjutkan pertunjukan yang dijadwalkan," kata Matty Healy, pentolan The 1975.
Sudah selayaknya mereka yang terang-terangan mendukung dan bahkan melakukan aksi LGBT tak tampil di Indonesia. Jangan kasih ruang kepada mereka yang mendukung LGBT.
Namun perlu diingat, selain The 1975, akan ada lagi konser grup band yang dikhawatirkan mendukung LGBT di Indonesia. Yakni, Coldplay. Dalam beberapa aksinya, vokalis Coldplay kerap mengibarkan bendera khas LGBT.
Kita tentu tak ingin Coldplay jika jadi konser di Indonesia, melakukan aksi mendukung LGBT. Karena itu, baik pemerintah maupun promotor harus memastikan dan menjamin tak ada aksi mendukung LGBT saat konser Coldplay di Indonesia.
Namun, melihat aksi konser band pendukung LGBT di Malaysia, The 1975, tentu kita khawatir mereka akan melakukan hal yang sama seperti The 1975. Karena itu, ada baiknya, untuk pelaku seni yang terang-terangan mendukung LGBT, sebaiknya tak dikasih tempat di Indonesia. Karena, LGBT itu adalah perbuatan keji.
Dosa mendukung LGBT
Kita harus berhati-hati dalam mendukung orang-orang yang mendukung kemaksiatan. Beberapa waktu lalu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, mengatakan bagi pihak yang mendukung kelompok tersebut sama saja dosanya dengan pelaku perbuatan maksiat yang melakukan aktivitas LGBT. Hal ini dikuatkan oleh dalil dibawah ini:
وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Dan barang siapa yang mencontohkan sunnah yang buruk di dalam Islam maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakan sunnah yang buruk tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa sedikitpun pelakunya." HR Muslim (no 1017), Tirmidzi (no 2675) dan An Nasa-i (no 2554).
Kedua dalam surat Al Maidah ayat kedua,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS Al Maidah ayat 2)
Hal inilah yang perlu diingat oleh umat Islam di Indonesia. Jangan sampai kita menanggung dosa karena mendukung orang-orang yang mendukung LGBT.