REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sektor transportasi menyumbang sekitar seperempat dari seluruh emisi gas rumah kaca global. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change, sekitar 70 persen emisi transportasi langsung dihasilkan dari penggunaan kendaraan di jalan raya di seluruh dunia.
Menyikapi hal tersebut, perusahaan kendaraan seperti Audi dan Volvo Group semakin berfokus pada keberlanjutan. Volvo Group dan Audi telah membuat komitmen emisi net-zero yang sejalan dengan Perjanjian Iklim Paris. Volvo Group berusaha keras untuk mencapai target mereka pada tahun 2040, dan Audi menargetkan paling lambat tahun 2050.
Baik Volvo Group maupun Audi telah mengurangi emisi dari operasional mereka, termasuk kantor perusahaan, fasilitas produksi, dan energi yang menggerakkan gedung-gedung tersebut. Seiring upaya Audi untuk mencapai target netralitas karbon di semua lokasi pada tahun 2025, perusahaan baru-baru ini mengumumkan bahwa pabriknya di Ingolstadt, Jerman (lokasi produksi Audi Q6 e-tron terbaru) akan memulai produksi netral karbon pada 1 Januari 2024.
Volvo Group juga secara bertahap mengalihkan fasilitas produksinya, yang berada di 18 negara berbeda, ke sumber energi terbarukan seperti angin dan tenaga surya. Penggunaan energi merupakan bagian besar dari biaya produksi, sehingga investasi energi terbarukan membantu memastikan biaya energi yang lebih rendah dan tidak terlalu bergejolak dalam jangka panjang.
Elemen lain dari produksi kendaraan adalah pilihan material. Mengingat baja merupakan material utama di seluruh lini produknya, Volvo Group telah bermitra dengan pemasok, SSAB, untuk mendapatkan baja bebas fosil yang diproduksi menggunakan hidrogen. Baja bebas fosil tersebut kini mulai digunakan pada kendaraan listrik Volvo Group.
Kedua perusahaan juga mengintegrasikan bahan daur ulang ke dalam kendaraan. Audi, misalnya, menggunakan kaca daur ulang pada Q4 e-tron dan penutup plastik daur ulang untuk gesper sabuk pengaman pada model Q8 e-tron. Dengan mendiversifikasi material, produsen dapat menjadi yang terdepan dalam hal pengadaan yang berkelanjutan dan mengurangi dampak gangguan rantai pasokan di masa depan.
Selain itu, daur ulang baterai kendaraan listrik merupakan area yang diragukan oleh publik dan menjadi fokus bagi produsen. Audi misalnya, telah bekerja sama dengan Redwood Materials sejak 2022 untuk membangun rantai pasok domestic dalam mendaur ulang baterai EV dan menciptakan rantai pasok tertutup untuk baterai lithium-ion di AS.
“Kamu akan terus berkolaborasi dengan sejumlah organisasi yang memiliki kesamaan visi misi untuk menciptakan masa depan yang lebih berlistrik dan berkelanjutan,” kata Direktur Audi of America untuk urusan pemerintah dan keberlanjutan, Spencer Reeder, seperti dilansir Forbes, Ahad (15/10/2023).
Saat ini, Redwood Materials bekerja secara langsung dengan lebih dari 1.000 dealer Volkswagen Group of America di seluruh negeri untuk mengumpulkan dan mendaur ulang baterai yang sudah habis masa pakainya dari mobil listrik VW dan Audi. Volvo Group juga menyadari perlunya memfasilitasi masa pakai kedua untuk baterai kendaraan dan secara aktif menjajaki berbagai opsi agar perusahaan siap untuk mendukung pelanggan.
Untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat akan kendaraan tanpa emisi, serta berkontribusi pada keberlanjutan sosial, pengembangan tenaga kerja harus menjadi prioritas bagi perusahaan di seluruh industri transportasi. Audi meningkatkan keterampilan karyawan saat ini dan melatih tenaga kerja masa depan melalui program-program seperti Audi Education Partnership yang berbasis di Amerika Serikat. Menurut Reeder, Audi Education Partnership berupaya untuk menciptakan generasi penerus teknisi servis Audi yang ahli dan mampu mengerjakan kendaraan bermesin pembakaran internal dan kendaraan listrik.
Volvo Group juga tengah meningkatkan keterampilan tenaga kerjanya untuk memproduksi kendaraan listrik, serta melatih ulang personel yang berfokus pada penelitian dan pengembangan. Hal ini dilakukan guna memastikan bahwa ada bakat dan kapasitas teknik yang memadai di masa mendatang.
Meskipun infrastruktur pengisian daya bukanlah fokus bisnis utama bagi kedua perusahaan, namun mereka menyadari perlunya kemitraan dan kebijakan yang berkelanjutan untuk memastikan pengemudi kendaraan listrik ringan, sedang, dan berat memiliki pengalaman pengisian daya yang positif. Pertimbangan utama adalah tenaga kerja global yang dibutuhkan untuk memasang, mengoperasikan, dan memelihara infrastruktur tersebut.
Kepala divisi keberlanjutan Volvo Group, Karin Svensson, dan Reeder setuju bahwa sebagian besar kemajuan dalam dekarbonisasi sektor transportasi dapat dikaitkan dengan perkembangan teknologi, ambisi kebijakan, dan minat konsumen yang lebih besar terhadap solusi iklim, termasuk kendaraan listrik. Svensson menyebutnya sebagai kesempatan emas, karena produknya sudah tersedia saat ini, termasuk mobil listrik, truk, bus, dan peralatan.
"Solusi yang sekarang kita lihat menjadi kenyataan adalah inisiatif yang telah kami kerjakan sejak lama. Volvo Group memiliki momentum yang baik dan saya sangat berharap untuk dekade mendatang," kata Svensson.