Selasa 05 Mar 2024 21:53 WIB

Top Gun Sebagai Pilar Akselerasi Akuakultur Berkelanjutan

Perkembangan digital telah merambah ke berbagai sektor, termasuk sektor akuakultur.

 Lobster hasil tangkapan, di Pantai Rancabuaya, Kabupaten Garut, Kamis (24/3). (Republika/Edi Yusuf)
Lobster hasil tangkapan, di Pantai Rancabuaya, Kabupaten Garut, Kamis (24/3). (Republika/Edi Yusuf)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Riza Rahman Hakim, Dosen Prodi Akuakultur/Perikanan, Universitas Muhammadiyah Malang

Dunia global saat ini sedang gencar membahas persoalan pangan, energi, dan air. Di berbagai forum ilmiah baik nasional maupun internasional, serta berbagai jurnal ilmiah juga tak lepas dari ketiga topik bidang tersebut. Pada 5 Februari 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyelenggarakan Indonesia Marine and Fisheries Business Forum 2024 yang pertama kalinya.

Pada acara yang diikuti para pengusaha, akademisi, dan juga perwakilan dari beberapa negara tersebut, memiliki nilai penting dalam mendorong tumbuhnya sektor bisnis bidang kelautan dan perikanan di Indonesia. Melalui forum tersebut juga dipaparkan besarnya potensi dan peluang investasi bidang kelautan dan perikanan, termasuk di dalamnya sektor akuakultur yang potensinya dijuluki sebagai The Sleeping Giant (raksasa yang sedang tidur).

Berdasarkan data Statistik KKP, volume produksi perikanan budidaya (akuakultur) Indonesia pada 2023 mencapai 16,97 juta ton. Produksi ini dua kali lipat dari volume produksi perikanan tangkap sebesar 7,77 juta ton.

Adapun nilai produksi akuakultur mencapai 236,48 triliun. Dan sejak tahun 2009-2023, Indonesia menjadi produsen akuakultur terbesar kedua di dunia setelah China.

Produktivitas sektor akuakultur Indonesia selama 13 tahun terakhir cenderung meningkat secara stabil. Namun, angka peningkatan tersebut terlalu kecil, sehingga dibutuhkan adanya akselerasi untuk mengoptimalkan potensi akuakultur tersebut.

Setidaknya ada 6 pilar yang dapat digunakan dalam akselerasi pengembangan akuakultur berkelanjutan, yang disingkat dengan TOP GUN. Pertama, Traceability. Ketertelusuran terhadap induk dan benih ikan (komoditi akuakultur) sangat penting dalam proses budidaya.

KKP perlu mendata dan menata kembali pengelolaan Balai induk dan benih tiap propinsi sesuai dengan komoditas unggulannya, baik laut, payau, dan tawar. Balai tersebut kedepan harus menjadi rujukan para pembudidaya dalam memperoleh induk dan benih yang berkualitas dan terstandarisasi. Hal ini penting, karena induk dan benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan proses produksi akuakultur. Dan di lapangan sering terjadi pembudidaya banyak yang mendapatkan benih seadanya, sehingga produktivitasnya tidak bisa optimal.

Kedua, Optimazing collaboration. Saat ini adalah era kolaborasi untuk mencapai tujuan besar yang diinginkan. Pengembangan akuakultur yang berkelanjutan harus mengoptimalkan kolaborasi penelitian antara akademisi, pemerintah, serta Dunia Usaha dan Industri (DUDI).

Selama ini program Link and Match yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bertujuan untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan kerja, usaha sera industri. Salah satunya adalah program Praktisi Mengajar yang melibatkan praktisi DUDI dalam proses pembelajaran di kelas maupun di lapang.

Di samping itu, perlu ada komunikasi riset antara Perguruan Tinggi dengan lembaga riset milik pemerintah agar tidak terjadi tumpang tindih dalam topik risetnya, serta disesuaikan dengan persoalan DUDI yang terkini dan berorientasi masa depan.

Ketiga, Productivity improvement. Peningkatan produktivitas komoditi unggulan akuakultur harus terus diupayakan, khususnya untuk kebutuhan pasar global. Lima komoditas unggulan yang dikembangkan oleh KKP yaitu udang, rumput laut, nila, kepiting, dan lobster.

Pada 2022, data statistik KKP mencatat, untuk nilai ekspor udang Indonesia sebesar USD 2,16 miliar, rumput laut USD 600,36 juta, nila USD 78,52 juta, kepiting USD 484,23 juta, dan lobster USD 25,70 juta. Strategi peningkatan produktivitas diantaranya dilakukan dengan perbaikan sistem budidaya dari tradisional menuju intensif, penggunaan teknologi, manajemen pemberian pakan, serta akses pasar dan saluran distribusi yang baik.

Keempat, Good governance. Sudah saatnya lembaga pendidikan SMK dan Perguruan Tinggi di wilayah pesisir perlu diperbaiki tata kelolanya. Pada setiap wilayah pesisir tersebut harus ada Jurusan Akuakultur dengan desain kurikulum, kualitas guru dan dosen, serta fasilitas pendukung yang terbaik, dengan tujuan untuk peningkatan produktivitas akuakultur yang berkelanjutan.

Komoditas unggulan akuakultur juga dapat disesuaikan dengan potensi yang ada di masing-masing wilayah pesisir. Kemudian Pemerintah Daerah perlu membangun ekosistem bisnis akuakultur yang kondusif. Hal ini akan menjadi triger tumbuhnya para entrepreneur muda dari para alumni lembaga pendidikan tersebut. Sehingga potensi akuakultur di wilayah pesisir akan dikembangkan oleh putra asli daerah, dan disinilah pemerataan pembangunan akuakultur akan terwujud.

Kelima, Utilization of digitalization. Perkembangan digital telah merambah ke berbagai sektor, termasuk sektor akuakultur. Digitalisasi akuakultur masih perlu dimasifkan lagi, karena bisa membawa industri akuakultur lebih efisien, meningkatkan produktivitas, dan bervisi keberlanjutan.

Adanya digitalisasi akan mempengaruhi banyak aspek, mulai aspek teknis budidaya, penyebaran informasi untuk edukasi hingga aspek pemasaran, termasuk mengefisienkan rantai distribusi. Di samping itu, digitalisasi akan memperkuat data base di sektor akuakultur, sehingga ke depan terdapat big data yang bisa digunakan untuk membuat kebijakan dalam membangun sektor akuakultur yang berkelanjutan.

Salah satu startup yang cukup sukses dalam penggunaan teknologi akuakultur adalah inovasi dari eFishery. Sebagai contoh eFeeder, yang merupakan salah satu produk andalan dari eFishery dikatakan mampu meningkatkan efisiensi pakan hingga 30%.

Hasil survey Tim Riset eFishery tahun 2022 kepada 357 pembudidaya di area Jawa dan Sumatera menunjukkan, bahwa sebanyak 48,46% pembudidaya menganggap teknologi sebagai hal positif dan faktor yang sangat penting dalam berbudidaya. Lalu 47,90% menganggap penting, dan 0,28% menganggap teknologi sangat tidak penting. Hal ini bisa dijadikan indikator bahwa pembudidaya Indonesia lebih terbuka akan inovasi teknologi.

Keenam, Notable market access. Selain pakan yang murah, para pembudidaya menginginkan pentingnya akses pasar yang jelas dan terjamin harga jualnya. Terutama pasar domestik yang kebutuhannya juga sangat tinggi, diperlukan keterlibatan pemerintah (daerah dan pusat) dalam menjamin stabilitas harga pasca panen.

Pengembangan pasar domestik dan ekspor perlu didesain secara terstruktur dan sistematis. Sehingga geliat industri akuakultur akan tumbuh pesat dengan serapan jutaan tenaga kerja yang akan terlibat.

Sektor akuakultur telah memberikan kontribusi besar terhadap ketersediaan pangan, peningkatan ekonomi, dan sumber devisa negara. Sudah sepatutnya sektor ini dikembangkan dengan pengelolaan yang baik, yaitu melalui enam pilar TOP GUN yang didasari oleh prinsip keberlanjutan (sustainability). Prinsip yang mengedepankan aspek ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial inilah yang akan mampu mewujudkan akuakultur berkelanjutan (sustainable aquaculture).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement