Oleh Mukti Ali Qusyairi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di awal Mei 2024, saat kaki melangkah memasuki pintu gerbang Masjid Nabawi dan mata terpana dengan keanggunan bangunannya nan elok dihiasi payung-payung teduh menutupi pelatarannya, terbersit dalam ingatan bahwa dari Madinah lahir sumbu peradaban ilmu yang berpengaruh besar dalam perjalanan peradaban Islam sampai detik ini. Yaitu tasawuf yang berakar dari ahli suffah dan hadits serta fikih dari Imam Malik.
Ahli Suffah
Pada masa Rasulullah, ada sekelompok orang yang hidup di serambi masjid Nabawi di Madinah. Mereka orang-orang hidup zuhud, asketis, tak berambisi mengejar harta benda duniawi, yang kemudian disebut dengan ahlu suffah. Ahlu suffah ini totalitas hidupnya untuk beribadah, medekatkan diri kepada Allah, dan ngaji pada Rasulullah. Menurut Ibnu Qatadah, bahwa ahli suffah mencapai 900 orang. Boleh dibilang bahwa ahli suffah adalah santrinya Rasulullah.
Para ahli suffah sejatinya para sahabat Rasul yang ikut hijrah dari Mekah ke Madinah tanpa membawa perbekalan harta benda apapun. Kehidupannya digantungkan sepenuhnya pada Allah dan RasulNya. Makan dan minum ahli suffah sebagian besar dari Rasulullah, dan terkadang dari para sahabat muhajirin dan anshor yang berkecukupan. Ketika Rasulullah menerima sedekah atau hadiah berupa makanan atau minuman seperti susu dari orang lain, sebagian besar diberikan kepada ahli suffah dan sisanya baru dimakan sendiri. Hal ini dikisahkan oleh Abu Hurairah yang pernah diperintahkan oleh Rasulullah untuk memberikan sepelastik susu kepada ahli suffah.
Dari ahli suffah ini, melahirkan dua tradisi yang di kemudian hari menjadi arusutama yang sangat berpengaruh dalam diskursus dan peradaban Islam, yaitu tradisi kelimuan tasawuf dan pesantren.
Menurut sebagai pakar tawasuf, bahwa disiplin ilmu tasawuf berakar dari ahli suffah. Kata tasawuf atau sufi pun diambil dari kata suffah itu. Suffah seakar kata dengan shafi yang artinya bersih. Sebagaimana ahli suffah yang senantiasa membersihkan hatinya dari ketergantungan pada duniawi dan mengisinya dengan cinta kepada Allah dan RasulNya. Para sufi pun demikian adanya, yaitu orang-orang yang membersihkan hatinya.
Selanjutnya ilmu tasawuf berkembang pesat mewarnai pemikiran dan kehidupan spiritual Islam serta mengalami dinamisasi epistemologis yang sangat pesat. Setidaknya terdapat tasawuf falsafi dan tasawuf ‘amaliy (aplikatif) yang sejatinya juga berbasis nadzhariy (teoritis). Dari kedua tipologi itu lahir para sufi besar dengan karya-karyanya yang gemilang. Tasawuf falsafi terdapat Ibnu Arabi dengan karyanya di antaranya Futuhat al-Makkiyah, Fushush al-Hikam, dan Tarjuman al-Asywaq dan Maulana Jalaluddin al-Rumi dengan karyanya di antaranya Matsnawi dan Diwan Syamsu Tibrizi, dan masih banyak nama sufi besar lainnya. Sedangkan dari tasawuf ‘amaliy yang mengawinkan antara tasawuf dan fikih yaitu Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam al-Qusyairi dalam kitab al-Risalah, dan sufi lainnya.
Dengan kata lain, boleh dibilang bahwa ahli suffah merupakan akar pemikiran filosofis dan spiritualis Islam yang berkembang dan dinamis menyertai perjalanan peradaban umat manusia hingga saat ini.
Ahli suffah pun merupakan akar sejarah pendidikan berbasis asrama yang diikuti oleh para ulama dan kiyai Nusantaran dengan pendidikan agama berbasis pondok pesantren di satu sisi. Pada saat yang sama, tarekat sufi yang meniscayakan adanya guru mursyid dan murid juga berakar dari relasi ahli suffah sebagai para murid dengan Rasulullah sebagai maha guru mursyidnya.
Imam Malik
Ingat Madinah ingat Imam Malik, seorang ulama besar dan salahseorang imam mujtahid mutlak serta guru dari Imam as-Syafii yang kemudian juga menjadi seorang imam mujtahid mutlka yang memiliki banyak murid dan pengikut. Imam as-Syafii jauh-jauh dari tanah kelahirannya, Palestina, berjalan ke Madinah untuk berguru dan menimbah ilmu dari Imam Malik.
Syahdan, Imam as-Syafii kala itu masih bocah berusia sembilan tahun. Sudah hapal al-Quran dan hapal kitab al-Muwatha, sebuah kitab yang berisi kumpulan hadits Nabi, karya Imam Malik. Boleh dibilang, bahwa kitab al-Muwatha merupakan kitab hadits pertama. Ketika Imam Malik sedang mengadakan pengajian dan menjelaskan kandungan hadits-hadits yang ada di kitab al-Muwatha, terlihat seorang anak kecil turut hadir di majelis ilmunya yang sedang ikut menyimak pengajian. Setelah selesai pengajian, Imam as-Syafii sowan kepada Imam Malik seraya ingin memberitahukan bahwa dirinya telah hapal kitab al-Muwatha. Tentu saja membuat Imam Malik terperanjat dan kaget mendengar pernyataan Imam as-Syafii yang masih bocah kala itu.
Imam Malik kepo dan mencoba menyimak hapalan Imam as-Syafii, dan ternyata betul-betul hapal dengan sangat baik. Imam Malik semakin takjub, kagum dan terpukau dibuatnya.
Tak berhenti di situ. Imam Malik pun menguji pemahaman dan pandangan serta pemikiran Imam as-Syafii tentang isi kitab al-Muwatha khususnya dan umumnya tentang berbagai persoalan yang dibutuhkan pemikiran dan ijtihadi yang tinggi. Ternyata Imam as-Syafii pun dapat menjelaskannya dengan baik, dan Imam Malik kembali terhenyak dan takjub. Seketika itu pula, Imam Malik mengakui keilmuan Imam as-Syafii dan mempusisikannya pada level mujtahid.
Pengajian dan dialog ilmiyah antara Imam Malik dan Imam as-Syafii itu terjadi di Madinah. Pengakuan atau boleh dibilang pengangkatan Imam as-Syafii sebagai seorang ulama mujtahid mutlah oleh Imam Malik juga terjadi di Madinah. Jadi, dua dari keempat imam mujtahid mutlak itu dinobatkan di Madinah.
Imam Malik sangat mencinta Madinah yang terlihat dalam narasi dan pandangan-pandangannya. Di antara pandangannya yaitu; pertama, bahwa Imam Malik menjadikan ‘amal ahli al-Madinah (tradisi dan kebiasaan penduduk Madinah) sebagai salah satu mashadir al-ahkam (sumber hukum) syariat manakala tidak ditemukan jawaban dalam al-Quran dan hadits. Kedua, ketika ada pertanyaan lebih utama mana antara bumi Mekah dengan bumi Madinah? Imam-imam yang lain seperti Imam as-Syafii berpendapat bahwa bumi Mekah lebih utama daripada bumi Madinah. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa bumi Madinah lebih utama daripada bumi Mekah, sebab bumi Madinah telah mengandung jasad Rasulullah. Sebab Rasulullah dikubur di Madinah.
Ketiga, kecintaan Imam Malik kepada Rasulullah yang tidak terbantahkan adalah dengan mengumpulkan hadits yang terkodivikasikan dalam kitab hadits pertama dalam sejarah, yaitu kitab al-Muwatha. Dengan cinta, Imam Malik mengumpulkan hadits yang berisi ucapan, prilaku, dan kebiasaan Rasulullah. Kitab al-Muwatah juga digelar dalam pengajian Imam Malik di Masjid Nabawi.
Imam Malik pun yang mengajukan teori al-mashlahat al-mursalah yang dikemudian hari disebut al-kulliyat al-khamsah (lima prinsip dasar universal) dan dalam perkembangannya menjadi disiplin ilmu maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan universal syariat) yang hari ini menjadi teori dan metodologi yang dianggap memadai untuk menganalisa berbagai persoalan kontemporer.
Maqashid syariah itu berisi prinsip-prinsip universal yang wajib dijaga, yaitu hifdzhu al-nafs (menjaga jiwa/nyawa), hifdzhu al-din (menjaga keberagamaan), hifdzhu al-‘aql (menjaga akal), hifdzhu al-nasl (menjaga keturunan dan keluarga), hifzhu al-maal (menjaga harta benda), dan hifdzhu al-‘irdh (menjaga harga diri).
Ada dua ulama besar mazhab Maliki yang dengan kokoh membangun epistemologi maqashid al-syariah yaitu Imam as-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat dan Imam Ibnu Rusydi. Meski Ibnu Rusydi menulis kitab al-Bidayatu al-Mujtahid wa al-Nihayatu al-Muqtashid yang isinya perbadingan madzhab, akan tetapi Ibnu Rusydi lebih cenderung pada pandangan Imam Malik. Sebab Kordoba Spanyol pada saat itu mayoritas umat muslimnya bermadzhab Maliki.
Perkembangannya, maqashid syariah dikembangkan juga oleh ulama mazhab as-Syafii, di antaranya Imam al-‘Izzuddin bin Abdussalam dengan kitab al-Qawa’in al-Ahkam fi Mashalik al-Anam.
Peradaban Ilmu
Madinah menurut Husein Mu’nis, pemikir dan sejarawan Mesir, merupakan kata dari bahasa Suryani yaitu “madinta”, yang artinya wilayah luas yang dihuni komunitas masyarakat yang berbeda-beda dalam kondisi dan kepentingan yang sama. Madinah seakar kata dengan tamaddun dan madaniy yang artinya peradaban (civilization). Madinah ini merupakan pemikiran Rasulullah sebagai anti-tesa dari gaya hidup badawa (nomaden) yang kala itu menjadi arusutama bagi masyarakat Arab.
Konsep Madinah mengandaikan kehidupan bersama dalam satu wilayah dengan saling menghargai, menjaga, setara, moralitas kemanusiaan universal dan toleran antara warga. Sehingga dapat hidup surveval dan berkelanjutan dalam satu wilayah itu.
Nilai-nilai peradaban dipancarkan oleh Rasulullah ke penjuru dunia yang diperkuat melalui epistemologi dan disiplin ilmu-ilmu Islam yang mengalami dinamika dan perkembangan yang signifikan. Di antaranya ilmu tasawuf dan filsafat yang berakar pada ahli suffah, dan fikih berakar pada Imam Malik.
Pada akhirnya dari peradaban yang bertujuan merevolusi gaya hidup nomaden, badawa, Madinah menjadi peradaban ilmu pengetahuan Islam. Dari Madinah menyala terpancar ke Baghdad, Mesir, Kufah, Bashrah, Kordoba Sepanyol, Persia, India, dan Nusantara. Bermunculan berbagai disiplin ilmu Islam, para ulama, dan kitab-kitab khazanah klasik Islam. Islam kokoh dari aspek epistemologi, doktrin, dan peradaban, yang teramat kokoh untuk diruntuhkan oleh siapapun.