REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Media sosial hingga saat ini terus diramaikan dengan unggahan poster All Eyes on Papua. Gerakan sosial di internet ini merupakan dukungan pada masyarakat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan suku Moi di Sorong, Papua Barat, melawan pembabatan hutan untuk pembukaan lahan kebun kelapa sawit.
Dosen dan peneliti sosial di Institut Teknologi Bandung Angga Dwiartama yang lama melakukan penelitian di Papua mengatakan, berdasarkan penelitiannya di Sawesuma, Jayapura, ia dan rekan-rekannya dari Universitas Indonesia dan Universitas Cendrawasih menemukan masalah kebun sawit di Papua cukup kompleks. Ia mengakui ada manfaat jangka pendek dari perkebunan.
"Konsesi perkebunan sawit biasanya memberikan kompensasi untuk masyarakat, pada marga atau suku dimana wilayah hutannya digunakan untuk sawit. Di beberapa skema, bahkan perusahaan memberikan pembayaran rutin. Tapi, masalahnya jauh lebih banyak, dan fundamental," katanya kepada Republika, Selasa (4/6/2024).
Menurut Angga, pembukaan lahan sawit juga membuat masyarakat kehilangan sumber-sumber penghidupan. Tidak hanya yang bernilai ekonomi seperti produk hortikultura, tapi juga yang bisa menjamin ketahanan pangan lokal seperti akses terhadap air, sumber daya ikan, hewan buruan, atau hasil hutan.
"Masyarakat memperoleh uang dari perusahaan. Lalu, ketergantungan pada komoditas yang dibawa dari luar seperti beras, minyak, mi, membuat masyarakat kehilangan kemandirian, dan pada akhirnya berdampak pada ketahanan pangan," kata Angga.
Berdasarkan penelitiannya, pemberian komoditas dari luar juga salah faktor masalah stunting di daerah Papua. "Studi membuktikan bahwa salah satu akar masalah stunting di daerah timur adalah ketergantungan mereka pada produk luar yang harganya tinggi," katanya.
Angga mengatakan, masyarakat Papua memiliki ikatan yang kuat dengan alam atau hutan bukan sekedar hubungan ekonomi semata. "Ada hubungan spiritual dan sosial yang dibangun. Dalam bahasa masyarakat desa-hutan yang kami dokumentasikan, "hutan itu mama". Ketika itu dihilangkan, ikatan sosial juga hilang," tambahnya.
Angga menjelaskan, secara ekologis, ekosistem hutan hujan tropis di Papua menyimpan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar potensinya belum tergali.
Ia mengatakan, terdapat beberapa tumbuhan atau hewan yang terdokumentasi dalam kearifan lokal masyarakat, seperti sebagai pangan alternatif, biomaterial baru, atau obat-obatan. "Alih fungsi hutan menjadi kebun sawit menghilangkan keanekaragaman hayati tersebut," tegasnya.
Angga menekankan, keseimbangan ekosistem di hutan-hutan Papua harus dijaga. Dengan perubahan kondisi ekosistem dan deforestasi, keseimbangan itu terganggu.
"Efeknya bisa macam-macam, tapi umumnya akan mengamplifikasi atau meningkatkan kerentanan terhadap perubahan iklim yang ada sekarang," katanya.