Sabtu 15 Jun 2024 20:37 WIB

Pakar dan Aktivis Sebut Komitmen Iklim G7 'Tidak Berarti'

Kelompok negara kaya G7 bertanggung jawab atas 21 persen emisi gas rumah kaca.

Rep: Lintar Satria/ Red: Indira Rezkisari
Perubahan iklim (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Perubahan iklim (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BARI -- Pakar dan aktivis lingkungan mengatakan negara-negara kaya yang tergabung dalam G7 gagal memberikan kemajuan signifikan dalam upaya penanggulangan perubahan iklim dalam pertemuan mereka di Bari Italia.

Pemimpin-pemimpin Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, Prancis, Jepang, Jerman dan Italia berkumpul di Puglia. Mereka mengkonfirmasi janji menteri-menteri lingkungan mereka bulan April lalu untuk menghapus penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara dalam sistem energi mereka pada paruh pertama 2030-an.

Baca Juga

Namun dalam pernyataan di akhir pertemuan G7 mengatakan negara-negara dapat melakukan penghentian penggunaan batu bara secara bertahap dalam jangka waktu dengan menjaga batas kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius sejalan dengan jalur netzero negara-negara tersebut.

G7 juga membuka lampu hijau untuk investasi publik pada gas alam yang merupakan bahan bakar dari fosil yang juga penghasil polusi. “Untuk tetap berada di bawah 1,5 derajat Celsius, rencana G7 untuk menghentikan penggunaan batu bara terlalu sedikit, terlambat, dan gas bukanlah bahan bakar yang murah dan tidak bisa menjadi jembatan menuju iklim yang aman,” kata pakar politik iklim Greenpeace, Tracy Carty seperti dikutip dari The Japan Times, Sabtu (15/6/2024).

Perekonomian G7 mencakup 38 persen ekonomi dunia dan pada tahun 2021 tahun lembaga think-tank Climate Analytics memperkirakan kelompok negara kaya ini bertanggung jawab atas 21 persen emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.

Nicola Flamigni dari perusahaan komunikasi yang fokus di perubahan iklim mengatakan G7 yang bertanggung jawab 30 persen bahan bakar fosil di seluruh dunia membuka pintu untuk melanjutkan investasi publik pada gas.

G7 menegaskan kembali perlunya menyepakati tujuan pendanaan iklim pasca-2025 yang baru, dengan negara-negara anggota G7 sebagai kontributor utama. Namun sekali lagi, hal ini bukanlah hal yang baru.

Lusinan pengunjuk rasa perubahan iklim menggelar protes di Bari. Mereka mengenakan kaos yang memperlihatkan pohon zaitun terbakar di Laut Mediterania yang panas.

Eropa salah satu benua yang mengalami pemanasan tercepat dan Mediterania sangat rentan terhadap peristiwa cuaca ekstrem yang disebabkan perubahan iklim, mulai dari kekeringan hingga banjir.

Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, yang menentang Kesepakatan Hijau Eropa, mengatakan perubahan iklim perlu ditangani tanpa pendekatan ideologis. Namun para aktivis menuduh kehadiran CEO perusahaan minyak dan gas raksasa Italia, ENI, pada pertemuan dengan pemimpin Afrika mengenai energi dan iklim menunjukkan betapa eratnya kepentingan politik dan kepentingan bahan bakar fosil di Roma.

“Tidak ada bukti bahwa gas di Afrika memenuhi kebutuhan masyarakat dengan lebih baik dan lebih murah dibandingkan energi ramah lingkungan dan elektrifikasi secara lebih luas,” kata salah satu pendiri lembaga think tank ECCO Luca Bergamaschi.

“Sebaliknya, investasi gas di Afrika berdampak negatif terhadap anggaran publik dan merupakan faktor kunci yang memperburuk krisis utang,” katanya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement