Jumat 19 Jul 2024 04:29 WIB

Sifat Pemimpin Adalah Pemaaf

Nabi Yusuf merupakan pemimpin yang pemaaf.

Bulan purnama terlihat di atas desa Pulau Sehel di tepi barat sungai Nil di kota Aswan, Mesir, Selasa (7/3/2023).
Foto: REUTERS/Amr Abdallah Dalsh 
Bulan purnama terlihat di atas desa Pulau Sehel di tepi barat sungai Nil di kota Aswan, Mesir, Selasa (7/3/2023).

Oleh : KH. Abu Hasan Mubarok, S.SI. M.Pd*

REPUBLIKA.CO.ID, PENAJAM PASER UTARA -- Di dalam Alquran, ada satu surat yang isinya penuh dengan satu kisah nabi saja. Biasanya beberapa nabi dan rasul dikisahkan berbarengan. Tentu ini adalah pelajaran penting yang tersirat dan tersurat di dalamnya.

Surat itu adalah Yusuf. Nomor surat ke-12 dari urutan mushaf dan terdiri dari 111 ayat. Menurut Imam Fakhruddin ar Razi (w. 606 H) surat ini turun setelah surat Hud, dan dari 111 ayat yang diturunkan di Mekah, hanya ayat 1, 2, 3, dan 7 saja yang diturunkan di Madinah.

Baca Juga

Sebelum membahas tentang salah satu pelajaran kepemimpinan dalam Surat Yusuf ini, ada hal menarik dalam penjelasan pendahuluan surat yusuf ini. Yaitu tentang salah satu keutamaan membacanya. Di mana Iman Ibnu Katsir (w. 774 H) adalah seorang pakar di bidang quran, hadits, sejarah dan keilmuwan lainnya memberikan pengantar hadits tentang keutamaan Surat Yusuf ini dengan hadits yang dikategorikan tidak sahih.

Menurut para ulama, setidaknya ada tiga alasan mengapa para ulama (semisal Ibnu Katsir) menampilkan hadits yang lemah, tidak sahih dalam tafsirnya, yaitu:

ingin menyampaikan peringatan meskipun sanadnya bermasalah, namun dari segi matan memiliki nilai kesahihan hadits yagn disebutkan adalah hadits yang sudah terkenal (mashur) dalam hal kelemahannya serta perselisihan antara ulama dalam penilainnya.

Ibnu Asakir juga memberikan testimoni tentang sikap Ibnu Katsir dalam hal penyampaian hadits lemah dalam tafsirnya. bahwa menurutnya upaya Ibnu Katsir dalam tafsirnya merupakan upaya terbaik setelah tafsir at Tabari (w. 310 H), dengan penuh kesungguhan menampilkan banyak hadits dan lebih mengutamakan hadits sahih, meskipun juga menampilkan hadits yang lemah, namun beliau menampilkan alasan dan penilaian jujur terhadapnya.

Menurut sebuah riwayat dari Rasulullah saw bahwa beliau saw menganjurkan untuk mengajarkan surat Yusuf ini, karena tidak ada seorang Muslim pun membacanya atau mengajarkannya pada keluarganya, atau kepada budak sahayanya, melainkan akan Allah mudahkan dalam sakaratul maut, dan akan diberikan kekuatan terhindar dari kedengkian Muslim lainnya.

Awal cerita

Adalah Yusuf diperlihatkan akan salah satu keagungan Allah. namun di saat yang sama justru ayahnya, Ya’qub menginginkan agar tanda keagungan tersebut tidak disampaikan kepada orang lain, terlebih kepada saudara-saudaranya. karena hal itu bisa membuka pintu keburukan baginya.

Mungkin sudah sunatullahnya, bahwa ketika ada kebaikan atau kebenaran, maka di situ pula ada antitesanya. Ya, saudara-saudara Yusuf menunjukan rasa ketidaksukaan terhadap dirinya. Beberapa kali mereka mengadakan rapat dengan agenda utama adalah menghabisi Yusuf, dan memalingkan kasih sayang ayahnya kepada mereka.

Sebetulnya, mereka tidak membutuhkan kasih sayang dari ayahnya. Namun lebih kepada rasa iri dan dengki kepada Yusuf.

Sekenario kejahatan

Ya’qub sudah mencium aroma kebusukan dari sikap saudara-saudara Yusuf sebelumnya. Hal ini sudah tampak “gelagat” dari proses dan prosedur pernikanah antara Ya’qub dengan para wanita sebelum akhirnya menikah dengan Rahel atau yagn disebut dengan istri kecil. Situasi “pengkastaan” ini lah sebagai pintu masuk keburukan dalam bahtera Ya’qub dan keluarganya.

Akhirnya, sepuluh saudara Yusuf mengadakan rapat terbatas dengan agenda utama “penghilangan” Yusuf di hadapan Ya’qub. Berbagai pendapat dan rumus-rumus berikut tata cara pengelakan saat “pengadilan” keluarga dilakukan juga sudah dibicarakan dengan matang. Alhasil keputusannya adalah membuang Yusuf atau menjauhkan sejauh-jauhnya antara Yusuf dengan ayahnya.

Eksekusi makar

Kesepakatan hasil rapatnya adalah membuang Yusuf, namun disekenariokan sedemikian rupa agar “penghilangan Yusuf” ini terkesan terjadi secara normal. Adapun rencananya adalah “meningggalkan” Yusuf di tengah-tengah hutan dan agar nanti ada orang yang menemukannya dan merawatnya, pada prinsipnya Yusuf tidak kembali ke rumah.

Saat akan melaksanakan rencananya, salah satu di antara mereka meminta izin kepada Ya’qub agar diizinkan membawa Yusuf bermain-main bersama mereka.

Sebetulnya Ya’qub sudah memiliki perasaan yang tidak baik, bahwa ini adalah siasat saudara-saudar Yusuf untuk menghilangkan Yusuf. Ya’qub katakan kepada anak-anaknya bahwa mereka adalah oragn-orang yang sangat mungkin bisa lengah, lalu Yusuf dimakan serigala.

Betul apa yang dikatakan oleh Ya’qub, bahwa sekembali saudara-saudara Yusuf dari permainan, Yusuf tidak bersama mereka, malahan mereka membawa sobekan baju Yusuf yang telah dilumuri darah hewan lain, agar terkesan bahwa Yusuf telah dimakan serigala.

Setelah peristiwa ini terjadi, Ya’qub menjadi pribadi yang lebih banyak menyendiri dan membatasi diri. Sampai-sampai kesedihannya itu digambarkan Ya’quh tidak bisa lagi melihat dengan jelas, meskipun penciuman masih sangat tajam. Namun, Allah tetap memberikan hati yang sabar serta senantiasa bertawakal kepada-Nya dengan berkata, “wa Allahul musta’an, Allah adalah Dzat yang Maha Penolong”.

Puluhan tahun Yusuf berpisah dengan ayah, adik dan sepuluh saudara-saudara yang jahat tersebut. Allah mentakdirkan Yusuf menjadi penguasa di Mesir. Hingga datanglah musim paceklik, dan di saat-saat inilah kisah Yusuf bersama Ya’qub dan saudara-saudaranya akan tersingkap hikmahnya.

Ya’qub pun memerintahkan kepada anak-anaknya, yang tiada lain adalah saudara-saudara yang telah berbuat jahat kepada Yusuf untuk pergi ke kota agar mencari pertolongan kepada raja yang dikenal adil dan bijaksana.

Sesampainya mereka di kota, Yusuf langsung mengetahui siapa ihwal mereka, namun Allah tutupkan saudara-saudaranya dari pengetahuan tentang Yusuf. Lalu Yusuf pun membuat skenario agar memberikan kepada mereka pelajaran.

Yusuf memerintahkan salah satu pegawainya untuk memasukan barang mewah di kantong-kantong bantuan makanan yang telah mereka dapatkan. Dan sebelum mereka melewati pintu gerbang kota, mereka ditangkap, karena telah “dianggap” mencuri barang-barang kerajaan.

Pengadilan pun dilakukan dan diputuskan bahwa mereka harus membawa salah satu anak Ya’qub yang lain, anak ini adalah adik Yusuf sendiri yang bernama Bunyamin. Akhirnya, beberapa orang di antara mereka disuruh kembali ke daerah mereka, dan harus membawa Bunyamin ke hadapan raja.

Sesampainya di rumah, Ya’qub mempertanyakan sikap mereka yang dulu juga telah lakukan terhadap saudara mereka, Yusuf. Akhirnya Bunyaminpun dibawa ke istana untuk mendapatkan bahan makanan mereka. Namun sebelum rombongan itu meninggalkan istana, kembali dibuat siasat oleh Yusuf.

Hingga singkat kisah, Bunyamin pun akhirnya ditahan pula oleh istana kerajaan.

Betapa menyesal dan sedihnya Ya’qub atas kecerobohan dan tindakan anak-anaknya tersebut. Atas beberapa peristiwa yang ganjil ini, Ya’qub pun berkata “fashabrun jamil”. Terkait “shabrun jamil” ini Imam Mujahid berkomentar “shobrun jamil” adalah tidak mengeluhkan kepada satu orang pun.

Akhirnya, Ya’qub pun berangkat ke Mesir untuk menyaksikan sendiri peristiwa demi peristiwa yang ganjil tersebut, dan memastikan bahwa tindakan anak-anaknya yang dahulunya nakal sudah tidak terulang kembali.

Ternyata mereka masih “menutupi” kesalahan mereka yang dahulu pernah dilakukannya. Namun, Allah sudah menyingkap rahasia antara anak dengan orang tuanya. Ya’qub mencium aroma bau yusuf.

Utusan itu akhirnya meletakan gamis yusuf ke kepala Ya’qub, hingga akhirnya Ya’qub bisa kembali melihat, melihat fakta dan peristiwa dengan lebih sempurna. dan melihat anaknya, Yusuf yang dahulu hilang ternyata telah menjadi manusia yang sempurna.

Sementara itu, anak-anak Ya’qub yang selalu berikap iri, dengki, hasad, bahkan dendam kepada saudaranya sendiri. Akhirnya mengakui akan kesalahan mereka dan memohon kepada ayahnya agar dimintakan ampunan kepada Allah swt.

Ya’qub pun menyanggupinya, dan melupakan setiap peristiwa yagn telah “dibuat-buat” oleh mereka, Ya’qub menerima penyesalan mereka dan Ya’qub memaafkan mereka, dan bahkan mengakui pula, bahwa kesalahan yang telah dibuat oleh anak-anaknya adalah juga “kesalahan” dirinya.

Ya’qub telah memberikan keteladanan sebagai seorang pemimpin, bahwa pemimpin adalah orang yang berjiwa pemaaf dan satu hati dan jiwa dengan orang yang dipimpinnya.

Madinah Munawarah, Muharam 1446 H

*Ketua Umum MUI Kab. Penajam Paser Utara

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement