REPUBLIKA.CO.ID, MUSI RAWAS -- Proper Emas diraih Pendopo Field melalui CSR Program Gerakan Perempuan Lestarikan Alam Melalui Konservasi Pinang (GEMILANG). Pendampingan kelompok wanita tani dalam pemanfaatan pinang. Tak hanya menambah pendapatan tapi juga melestarikan lingkungan. Dampak sosialnya, KWT menjadi ajang menularkan pengetahuan. Tak heran jika program ini mendampatkan penilaian Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) 3,44 (sangat baik) dan Social Return of Investment (SROI) dengan nilai sebesar 1,70.
Wayan Sumerta, Field Manager PT. Pertamina EP Pendopo Field, menunjukkan piala Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup) Emas yang diraih tahun 2023. Wilayah PHR Regional Sumatera Zona 4 mencatat rekor baru. PEP Limau Field dan PEP Pendopo Field meraih PROPER Emas 2023. Ada kebanggaan sekaligus tantangan. Bangga karena mencatat sejarah, kawasan ini belum pernah mendapatkan penghargaan ini. Tantangan berikutnya adalah mempertahankan.
“Bagi saya, Proper Emas adalah bonus. Yang utama, kehadiran kami di sini bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan turut menjaga lingkungan,” kata Wayan, Rabu (31/7/2024).
Dampak positif perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan adalah sebuah pencapaian perusahaan. Dua hal inilah yang ingin diwujudkan Pendopo Field dengan program corporate social responsibility (CSR) berupa pendampingan KWT (Kelompok Wanita Tani) Melati di Desa Sukarya, Kecamatan STL Ulu Terawas, Kabupaten Musi Rawas.
Program CSR ini dimulai pada tahun 2020, dengan melakukan pemetaan sosial di desa ini. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa Desa Sukarya menghadapi masalah utama yaitu pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran disebabkan rendahnya sumber daya manusia (SDM) masyarakat, keterbatasan peluang pekerjaan, serta kurangnya sumber daya modal.
“Kami melaksanakan Program GEMILANG karena kami percaya bahwa perusahaan tidak bisa tumbuh di tengah ‘masyarakat yang sakit’,” kata Erwinton Simatupang, CDO (Community Development Officer) Pendopo Field. Menurut Erwinton, keberhasilan program ini tidak bisa lepas dari keterlibatan masyatakat, khususnya seorang local champion perempuan, Suhartini (54 tahun).
Perempuan dalam Tegakan Pinang
Jalan itu beraspal, tapi tiba-tiba menyajikan lubang yang cukup lebar. Mobil yang bukan mobil double gardan harus mengerem mendadak, penumpang pun ikut terhentak. Adegan ini berulang-ulang selama kira 3 jam dari kantor Pendopo Field menuju rumah Suharti, Ketua KWT Mekar. Perempuan keturunan Jawa kelahiran Sumatera yang tak henti untuk belajar.
“Saya ndak kuliah. Bikin KWT ini juga karena undangan nyasar,” kenangnya. Sebuah undangan pelatihan ke Kabupaten Musi Rawas untuk para pegiat UMKM. Hanya karena nama Suhartini mirip dengan nama yang diundang, nyasarlah undangan tersebut ke tangan Suhartini. Ketika membaca undangan itu, Suhartini ingin sekali bisa berangkat. Akhirnya, keinginannya untuk belajar itu didukung oleh pemerintah desa yang memberangkatkan Suhartini.
“Bahkan saat saya berangkat, saya tidak tahu kalau harus ada usaha, harus ada kelompok juga,” kata Suhartini. Dari perjalanan itulah, ia kemudian membentuk kelompok usaha kecil. Sepulang dari acara, ia mengajak para perempuan desa sekitar rumah untuk membuat jahe instan.
Har, panggilan akrabnya, mampu memotivasi tetangga-tetangganya untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Sama seperti hasil pemetaan yang dilakukan oleh Pertamina, Desa Sukakarya berhadapan dengan pengangguran dan kemiskinan. Padahal, Har melihat banyak potensi yang dikembangkan.
“Kalau bicara soal organisasi, bagi ibu-ibu terlalu rumit. Maka saya buat sederhana, mereka harus pulang membawa uang setiap hari,” terang Har.
Ia mengaryakan para perempuan itu untuk membuat jahe instan dan berbagai camilan dari tepung mokav (tepung singkong). Mokav dipilih sebab singkong berlimpah di Sukakarya. Selain itu, bisa menjadi makanan sehat yang tak mengandung glutein sebagaimana camilan yang dibuat dari gandum.
“Saya bayar upah per kilo bahan mentah yang mereka olah. Satu hari, mereka bisa membawa pulang Rp 30.000,- hingga Rp 50.000,- per hari,” jelasnya. Untuk menjalankan KWT Mekar, Har mengambil marjin dari penjualan. Sebagian untuk dirinya sebagai pemodal, sebagian untuk kas organisasi.
Setelah usaha makanan ringan tersebut lancar, Har penasaran dengan pinang. Suatu hari, dalam perjalanan ke luar kota, suaminya mencicipi minuman dari pinang. Kisah itu diceritakan kepada Har yang menjadikan Har penasaran.
Di desanya, pinang melimpah tapi tidak tahu cara memanfaatkannya. Dalam rantai niaga pinang, desa ini hanya sebatas penyuplai bahan mentah. Mulai dari bertandan-tandan pinang yang dikumpulkan oleh pengepul dengan harga yang ditetapkan pembeli. Dan penyuplai batang pinang untuk lomba panjat pinang setiap tahun sekali. Padahal jumlahnya sangat banyak.
Dari kisah suaminya, Har mencoba membuat makanan dari pinang. Awalnya ia membuat bandrek (minuman) dengan menambahkan pinang. Rupanya bandrek ini diminati sehingga desa ini terkenal dengan bandrek pinangnya. Kemudian merambah ke pembuatan kopi pinang dan pinang herbal. Selanjutnya ide-ide makanan dari pinang terus berkembang. Pertamina mendampingi KWT Melati dengan Program Gerakan Perempuan Lestarikan Alam Melalui Konservasi Pinang (GEMILANG).
“Kami akhirnya tidak lagi menjual buah pinang mentah dan kami pakai buat bahan baku. Kami juga tidak lagi menebang pinang untuk tujuh belasan,” ujar Har. Tak hanya itu, tandan buah pinang bisa dijadikan agunan untuk meminjam uang. Misalnya sedang butuh yang, masyarakat bisa pinjam ke KWT dengan jaminan pinang.
Usaha pengolahan pinang memberi penghasilan bagi KWT Melati. Awalnya hanya 5 orang, anggotanya berkembang menjadi 60 orang. Pendapatan KWT Melati mencapai Rp 100 juta/bulan.
Setelah kebutuhan buah pinang meningkat, para perempuan ini pun mulai menambah pohon pinang. Mereka menanam pinang dari buah yang disemai.
“Kami mendampingi KWT Melati mulai dari pengemasan produk hingga bantuan bibit,” tambah Erwinton. Namun untuk mendapatkan Proper Emas, peningkatan pendapatan saja tidak cukup. Harus ada inovasi. Kuncinya justru pada pelepah yang menjadi sampah.
Prestasi Pinang Gemilang
Ketika buah pinang sudah menjadi komoditas, pelepah yang dihasilkan masih menjadi sampah. Dari sinilah, Pertamina mendampingi untuk pemanfaatan pelepah ini bekerjasasama dengan Plepah.id. Konsepnya, mengubah pelepah jadi berkah.
Pelepah dikumpulkan untuk membuat piring sekali pakai pengganti styrofoam. Bahan styrofoam sulit terurai sehingga menjadi masalah sampah yang mengotori lingkungan. Satu batang pinang bisa menggantikan 90.000 styrofoam/tahun dan mereduksi 4.500 kg CO2 eq.
Pertamina memberikan bantuan berupa mesin untuk mengubah pelepah menjadi piring sekali pakai. Selain itu memberikan pelatihan KWT Melati hingga berhasil memproduksi piring ini.
Inovasi pembuatan piring dari pelepah pinang bukan hanya mengurangi sampah, namun juga akan memotivasi masyarakat menanam pinang lebih banyak. Hal ini akan meningkatkan penyerapan karbon dari tanaman pinang. Perlu diketahui, masyarakat menanam pinang ini tidak monokultur. Pinang ditanam di pinggir jalan desa, pinggir ladang, maupun di pinggir danau sebagai penahan erosi. Sistem penanaman seperti ini memberikan dampak positif bagi lingkungan.
Hal yang tak kalah menarik adalah dampak sosial. KWT ini bukan hanya menjadi tempat untuk menambah pendapatan tapi juga tempat belajar dan berorganisasi. Para anggota KWT juga belajar membuat warung hidup dan apotek hidup di rumah masing-masing.
“Dulu ibu-ibu ini tidak punya uang untuk beli sayur. Padahal mereka punya halaman luas. Kami belajar menanam di ladang percontohan di KWT. Sekarang, sudah banyak ibu-ibu yang menanam sayur di rumahnya sendiri, jadi sayur tidak beli lagi,” kata Har.
Ia bersyukur ketika upayanya ini membuahkan hasil berupa penghargaan tertinggi di bidang pengelolaan lingkungan. Hadian sejumlah uang yang diterima KWT akan digunakan untuk memperluas keragaman usaha KWT. Ada wacana untuk membuat eco-print.
Sedangkan bagi Pertamina Pendopo Field, tantangan berikutnya adalah inovasi lagi. Menurut Erwinton, sudah ada beberapa ide untuk Proper selanjutnya.
“Kami sedang studi pemanfaatan pinang untuk melapisi pipa sehingga tahan karat. Riset-nya sudah ada, tinggal dikaji lebih lanjut,” kata Erwinton. Jurnal ilmiah sudah menguji hal ini. Bila nanti bisa dipraktikkan, maka akan memperingan biaya perawatan infrastruktur peninggalan zaman Belanda ini.