REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menilai pemanfaatan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memiliki kandungan sulfur yang tinggi di Indonesia harus segera dikurangi. Upaya ini perlu dilakukan demi memperbaiki kualitas udara menjadi lebih sehat dan baik bagi kehidupan.
Sekretaris Utama BMKG Dwi Budi Sutrisno di Jakarta, Rabu (16/10/2024) mengatakan, emisi gas buang kendaraan masih menjadi salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca, karena mayoritas masih menggunakan BBM bersulfur tinggi, jauh di atas 50 ppm yang menjadi standar global.
BBM bersulfur tinggi yang mayoritas digunakan di Indonesia tersebut seperti Pertalite, Pertamax, dan Solar, yang besarannya berada pada angka 500 ppm (parts per million).
Mengacu pada data dari BPH Migas sampai dengan April 2024, konsumsi BBM Pertalite mencapai 10 juta kiloliter atau 31,36 persen dari target 31,60 juta kiloliter sampai akhir 2024. Sementara pada periode yang sama Solar Subsidi sudah mencapai 2,57 juta kiloliter atau 300,12 persen dari total kuota 18,49 juta kiloliter sampai akhir 2024.
"500 ppm itu tinggi. Bagaimana itu tidak mempengaruhi hidup kita? yang kerap merasakan udaranya pengap seperti di Jakarta ini yang padat, jalanan macet," kata dia.
Dwi Budi yang juga praktisi bidang transportasi darat itu mengungkapkan di Indonesia sudah memiliki beberapa jenis bahan bakar yang kualitasnya juga baik untuk lingkungan seperti Pertamax Turbo/Green, Pertadex berkandungan sulfur 50 ppm. Namun jenis bahan bakar itu masih belum banyak dimanfaatkan dibandingkan jenis lain yang bersulfur tinggi, karena salah satunya alasan nilai ekonomis.
"Memang berat menggunakan BBM yang kualitasnya baik untuk lingkungan. Tapi akan sangat relevan jika dibandingkan untuk kualitas kesehatan individu masyarakat dan lingkungan," katanya.
Jakarta menjadi salah satu contoh bagaimana eratnya hubungan antara buruknya kualitas udara yang disokong emisi gas buang kendaraan dengan masalah ongkos kesehatan masyarakatnya.
Indeks kualitas udara dari IAQ, di Jakarta saat ini mencapai angka 178 dengan polutan utamanya sebesar PM 2,5 dan nilai konsentrasi 94 mikrogram per meter kubik (m3) atau 18.8 kali nilai panduan kualitas udara tahunan WMO.
Adapun laju pertumbuhan kendaraan sebesar 9 persen per tahun atau setidaknya ada sekitar 23 juta lebih kendaraan yang beroperasi di jalanan per hari.
Berdasarkan penelitian terbaru, kata dia, diketahui nilai kerugian kesehatan di ibu kota atas kondisi tersebut berjumlah senilai Rp 60 triliun per tahun. Bahkan mencapai Rp 100 triliun per tahun ditambah dengan kerugian Rp 40 triliun yang habis untuk operasional kendaraan, seperti bahan bakar.