REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Forest Watch Indonesia (FWI) dan Transparency International Indonesia menilai ekspansi dan penambahan luas sawit akan menyebabkan terjadinya deforestasi. Kedua hal itu bukan solusi bagi Indonesia untuk keluar dari tantangan krisis pangan, energi, dan air.
Communication Lead Forest Watch Indonesia Anggi Putra Prayoga menyoroti sejumlah masalah yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, terutama yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan, yang berencana untuk membangun cadangan pangan dan energi.
Anggi menjelaskan terdapat disorientasi dalam pemahaman mengenai hutan dan kawasan hutan. Ia menekankan penetapan kawasan hutan seluas 106 juta hektare yang diklaim sebagai tanah negara tidak melibatkan pengakuan dari masyarakat adat dan lokal.
"Klaim ini menjadi problematik ketika kawasan hutan yang sudah ditetapkan kemudian dilepaskan kembali," ujarnya di Diskusi Publik & Media Briefing: Catatan Tata Kelola Sawit di Tengah Ambisi Pembukaan 20 Juta Hektare Hutan, Rabu (5/2/2025).
Dalam konteks kondisi hutan alam Indonesia, Anggi mencatat masih terdapat sekitar 90 juta hektare hutan yang tersisa, terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Namun, ia memperingatkan deforestasi yang terjadi di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan merupakan hasil dari eksploitasi yang direncanakan. Data menunjukkan bahwa tren deforestasi tertinggi terjadi antara 2017 hingga 2021, meskipun ada penurunan yang terlihat pada tahun 2022-2023.
Anggi juga mengungkapkan fakta 35 persen kerusakan hutan alam Indonesia terjadi di kawasan yang seharusnya dilindungi, seperti kawasan konservasi dan hutan lindung. "Kawasan konservasi yang tidak dikelola dengan baik menjadi sasaran eksploitasi," tambahnya.
Ia menyoroti contoh kasus di Rawat Ripa dan Rawat Singkil yang menunjukkan kerusakan di kawasan konservasi. Lebih lanjut, Anggi menjelaskan proyek-proyek bioenergi dan food estate yang direncanakan akan memanfaatkan hutan produksi, yang menyisakan sekitar 40 juta hektare.
Ia menegaskan tidak ada ruang yang aman untuk melindungi hutan alam Indonesia jika kebijakan dan praktik saat ini terus berlanjut. Dalam konteks perkebunan kelapa sawit, Anggi menekankan bahwa meskipun ada klaim bahwa sawit adalah tanaman yang ramah lingkungan, penggantian hutan dengan sawit menghilangkan fungsi ekosistem yang tidak dapat tergantikan, seperti konservasi air dan tanah serta biodiversitas.
Ia mencatat rata-rata deforestasi akibat ekspansi sawit mencapai 55.000 hektare per tahun antara 2017 hingga 2023. Anggi juga mengkritik definisi hutan yang sering kali tidak memasukkan unsur sosial, yang mengakibatkan konflik dengan masyarakat yang bergantung pada hutan.
Ia menyerukan perlunya revisi undang-undang kehutanan untuk mencegah eksploitasi lebih lanjut terhadap ekosistem hutan. Dalam penutup, Anggi mengungkapkan kekhawatiran tentang potensi korupsi dalam proses perizinan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.
Ia menyebutkan terdapat 795.000 hak guna usaha (HGU) yang berada di dalam kawasan hutan, dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan HGU menjadi masalah serius. Kasus di Gorontalo, di mana kawasan hutan dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit namun kemudian dialihkan untuk produksi biomasa, menjadi contoh nyata dari praktik buruk dalam tata kelola hutan.
"Indonesia dihadapkan pada tiga krisis global: pangan, energi, dan air. Pendekatan yang salah justru akan membawa kita ke dalam krisis itu sendiri," tegas Anggi.
Ia menekankan transparansi adalah kunci untuk perbaikan tata kelola kelapa sawit di masa depan, dan menyerukan agar data terkait HGU dibuka untuk publik demi mencegah praktik korupsi yang lebih lanjut.