REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Nasihin Masha, Penulis Buku “Praksis Pancasila; Pengamalan Ideologi di Perusahaan Gobel”
Thayeb M Gobel lebih dikenal sebagai Bapak Industri Elektronika Nasional. Melalui merek Tjawang, beliau menjadi pengusaha radio nasional yang pertama. Beliau juga menjadi pembuat pesawat televisi di Indonesia untuk mendukung kegiatan Asian Games 1962. Kini, selain tetap memproduksi barang elektronika dengan merk Tjawang, perusahaannya juga menjadi mitra dalam joint venture industri elektronika merk Panasonic. Warisan perusahaannya kini sudah berada di tangan generasi ketiga.
Para pengusaha pribumi generasi pertama pada umumnya adalah para pejuang di lapangan ekonomi. Kita mengenal nama-nama seperti Soedarpo Sastrosatomo, HBR Motik, Hasyim Ning, dan tentu saja Thayeb. Salah satu cirinya adalah membuat akronim dari namanya. Nama Motik misalnya sebagai akronim dari Majukan Olehmu Tanah Air dan Kita. Sedangkan nama Gobel sebagai akronim dari Gerakan Organisasi Bela Ekonomi Lemah. Apakah akronim itu cuma slogan? Jawabannya bisa dilihat pada uraian di bawah ini.
Praksis Pancasila Oleh Gobel
Pada 1979, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi di UGM Yogyakarta, Mubyarto menyampaikan gagasan tentang Ekonomi Pancasila. Di masa Orde Baru, Pancasila sedang getol-getolnya untuk diwujudkan di berbagai bidang, termasuk di bidang ekonomi. Gagasan Mubyarto tentang ekonomi Pancasila tersebut kemudian menjadi polemik di media massa selama delapan bulan. Ini gara-gara gagasannya ditanggapi Arief Budiman. Di tengah polemik tersebut, Gobel memilih berbuat nyata. Ia membuat lukisan seorang manusia sedang duduk bekerja. Orang tersebut mengenakan baju putih lengan panjang dan berdasi. Namun kepalanya berbentuk perisai Pancasila seperti yang tergambar di dada burung Garuda Pancasila. Lalu di bawah lukisan tersebut, tertulis: “Berjuang, Berpikir, dan Berbicara dengan Falsafah yang Sama; Pancasila”.
M Dawam Rahardjo, seorang cendekiawan, menulis bahwa Thayeb adalah pengusaha yang memiliki sense of mission. Ia menekuni lapangan usaha bukan sekadar untuk berbisnis, tapi memiliki misi. Sebagai pejuang di lapangan ekonomi, ia bukan menjadi pemikir, tapi bertindak nyata sebagai man of action. Thayeb memang seorang pejuang, ia pernah menjadi anggota Tentara Pelajar saat menempuh pendidikan SMA di Makassar. Saat itu ia menjadi pengikut Wolter Monginsidi. Hubungannya dengan TNI berlanjut saat AE Kawilarang membereskan pemberontakan Andi Aziz di Makassar. Saat itu, Kawilarang menyilakan bagi anggota Tentara Pelajar yang mau lanjut sebagai tentara atau kembali bersekolah. Thayeb memilih bersekolah. Ia bertekad, “Kalau tidak bisa menjadi jenderal angkatan perang, biar saya menjadi jenderal di lapangan lain.”
Thayeb memilih menekuni lapangan usaha. Dalam mengelola usahanya, kata cendekiawan Fachry Ali, Thayeb memiliki dua ciri. Pertama, mengelola perusahaan secara kekeluargaan. Kedua, memiliki obsesi terhadap nasionalisme. Dalam konteks inilah kita bisa memahami tindakannya melukis manusia Pancasila di saat orang lain berdebat tentang ekonomi Pancasila.
Nah, wujud konkret medan usaha sebagai pengabdian bagi bangsa dan negara bisa dilihat pada poin-poin berikut ini. Pertama, ia membuat Tujuh Prinsip Perusahaan. Pada prinsip pertama ditulis: Utamakan Berbakti pada Negara Melalui Industri. Jadi, prinsip pertama adalah pengabdian bagi negara. Hal itu harus menjadi niat bagi semua karyawannya. Tujuh Prinsip ini dibacakan setiap hari. Kedua, mengadakan upacara setiap tanggal 17. Jadi, upacara bendera bukan hanya pada tanggal 17 di bulan Agustus, tapi tiap bulan. Rasanya sulit menemukan hal ini di perusahaan-perusahaan lain, bahkan di kantor pemerintah maupun di BUMN. Ketiga, prinsip kerja sama dengan asing harus berbentuk joint venture. Sehingga kedudukan hukumnya setara. Keempat, kesejahteraan, hubungan industrial, pesehatan, pendidikan, dan hal-hal lain yang menyangkut karyawan sangat diperhatikan. Karena itu, pemerintah selalu menempatkan perusahaan Gobel sebagai contoh bagi penerapan Hubungan Industrial Pancasila yang ideal.
Working Ideology
Sukarno, selaku pencipta Pancasila (ia sendiri lebih suka disebut sebagai penggali Pancasila), menyatakan, tentang betapa tak mudahnya mewujudkan Pancasila. Ia mengatakan, “Jikalau bangsa Indonesia ingin Pancasila yang saya usulkan itu menjadi realitet…janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.”
Pernyataan senada juga disampaikan Begawan Pancasila di era reformasi, Yudi Latif, “Pancasila masih diekspresikan sebatas klaim kehebatan dalam ritual pernyataan dan pidato pejabat atau diajarkan sebatas hafalan sejumlah butir moralitas … [tetapi dalam] operasionalisasinya, terdapat jurang yang kian lebar antara idealitas Pancasila dan realitas aktualisasinya.” Dalam Bahasa yang sederhana, sejarawan Kuntowijoyo membedakan antara ideologi murni dan ideologi praktis. Dan, kita baru mengenal Pancasila sebatas sebagai ideologi murni, yang teoretis dan butuh perjuangan untuk merealisasikannya.
Saat ini, diskusi tentang ekonomi Pancasila sudah lenyap. Bahkan di masa akhirnya, Mubyarto mengganti istilah “Ekonomi Pancasila” dengan “Ekonomi Kerakyatan”, program studi ekonomi Pancasila di UGM juga diganti dengan ekonomi kerakyatan. Awalnya saya tidak paham mengapa bisa seperti itu. Namun kemudian terklarifikasi saat diskusi buku saya di UGM. Prof Dumairi menyatakan bahwa penggantian itu akibat ada tekanan dari keluarga Cendana. Namun rupanya penggantian itu kebablasan hingga jauh setelah Orde Baru runtuh. Kembali ke soal surutnya diskursus tentang ekonomi Pancasila, bahkan tentang praksis Pancasila. Harus diakui, saat ini Pancasila hanya diterima sebatas sebagai slogan dan jargon politik. Untuk menerobos kebuntuan tersebut maka Yudi Latif mewacanakan gagasan tentang Pancasila sebagai “working ideology” alias “ideologi kerja”. Pancasila sebagai praksis. Namun orang bertanya, seperti apa bentuknya?
Praktik Politik
Sebuah gagasan tak serta merta bisa mewujud secara nyata. Namun intinya harus melalui praktik bernegara. Gagasan demokrasi modern lahir sejak abad ke-17 melalui pemikiran John Locke, Montesquieu, dan JJ Rousseau. Namun menjadi realita setelah terjadi revolusi Amerika pada 1776 dan revolusi Prancis pada 1789, kemudian menyebar setelah Perang Dunia II. Melalui PBB, Amerika Serikat bisa memaksakan sistem demokrasi ke berbagai negara di dunia.
Bangsa-bangsa terjajah, yang merdeka setelah Perang Dunia II, mencoba mencari bentuknya -- dalam sistem politik maupun ekonomi. Mereka mencari jalan bagi kemakmuran ekonomi rakyat, tercapainya kesejahteraan umum, kemajuan bangsa, dan terjaganya hak-hak sipil. Tawaran umumnya adalah sistem demokrasi liberal dan ekonomi kapitalisme atau sistem komunisme dan kapitalisme negara. Indonesia mencari jalan sendiri – tidak kanan, tidak kiri – melalui apa yang dinamakan sebagai Pancasila.
Pada pertengahan tahun 1930an, muncul Polemik Kebudayaan. Saat itu ada beragam pemikiran untuk mencari jalan kemajuan. Sutan Takdir Alisjahbana, yang memicu diskursus tersebut, memilih jalan bahwa Indonesia harus di-Barat-kan. Gagasannya dilawan oleh Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, dan Amir Hamzah. Mereka menyatakan bahwa Timur memiliki nilai-nilai tersendiri dan memiliki identitas sendiri. Apa yang terjadi dalam polemik tersebut mencerminkan pola yang berkembang dalam masyarakat Indonesia saat itu. Hal itu tecermin dalam sidang-sidang di BPUPK, saat merumuskan dasar negara dan konstitusi Indonesia.
Setiap masyarakat memiliki weltanschauung (berasal dari Bahasa Jerman, yang artinya pandangan dunia atau world view) masing-masing. Weltanschauung sering diartikan sebagai orientasi kognitif fundamental seseorang atau suatu masyarakat dalam cara pandang tertentu. Secara sederhana weltanschauung adalah gagasan dan pandangan suatu masyarakat tentang hari ini dan masa depannya. Weltanschauung orang Jawa misalnya membagi dunia ke dalam dua kategori, yaitu jagat kecil (dunia saat ini) dan jagat besar (dunia abadi kelak), dan hidup hanyalah sebuah perjalanan menuju penyatuan dengan yang Tuhan (sangkan paraning dumadi).
Bung Karno, saat berpidato di hadapan sidang BPUPK pada 1 Juni 1945, lebih memilih menggunakan istilah weltanschauung untuk Pancasila. Selain itu Bung Karno juga menggunakan istilah filosofische grondslag (berasal dari Bahasa Belanda yang berarti dasar falsafah), yang secara tersirat terinformasi bahwa istilah ini muncul dari Radjiman Wediodiningrat, selaku kepala BPUPK yang memimpin sidang. Sidang BPUPK tersebut adalah untuk menyusun “dasar negara”. Dalam berbagai pidatonya, Sukarno tidak pernah menyebut Pancasila sebagai “ideologi” tapi sebagai “dasar negara” maupun sebagai “weltanschauung”. Justru Manipol-Usdek yang oleh Sukarno disebut sebagai ideologi.
Melalui Manipol-Usdek dengan pasangan Demokrasi Terpimpin, Sukarno berusaha mewujudkan weltanschauung Pancasila dalam kehidupan nyata. Upayanya gagal dan Sukarno jatuh. Lalu digantikan oleh Orde Baru, dipimpin Soeharto. Ia menamainya sebagai Demokrasi Pancasila, dengan melahirkan P4 dengan 36 butir moral Pancasila. Soeharto pun gagal. Kini, di era reformasi, diskursus Pancasila makin sayup-sayup. Hanya muncul sesekali jika ada turbulensi politik, yang digunakan untuk menggebuk lawan politik. Pancasila hanya menjadi jimat dan ajian semata.
Karena itu, kajian-kajian tentang Pancasila harus menukik lebih dalam tentang praktik-praktik Pancasila, seperti yang sudah dilakukan Thayeb M Gobel di perusahaannya. Bukan lagi di level filosofis dan yuridis formal. Karena seperti dibuktikan oleh sejarah pada akhirnya sebuah gagasan membutuhkan manusia yang bisa mempraktikkannya. Gagasan komunisme di China, misalnya, bisa diwujudkan oleh Deng Xiaoping dan kemudian Xi Jinping, bukan oleh Mao Tsetung.