Selasa 29 Jun 2010 19:20 WIB

Barat Adopsi Agama untuk Mengelola Penjara

Rep: cr2/ Red: irf
Ilustrasi
Foto: ap
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Seolah gerah dengan keberadaan para tersangka teroris, sebuah studi menyarankan agar penjara barat mengadopsi pendekatan yang lebih imajinatif kepada tahanan yang banyak digunakan diberbagai penjara di Asia dan Timur Tengah. Adapun adopsi yang digunakan adalah dengan pendekatan agama dan membantu tahanan non-ekstrimis mengembangkan jaringan sosial mereka.

Kepala sipir penjara di Inggris bulan lalu, menangani tahanan yang diduga ekstrimis dan berbahaya bila digabungkan dengan kelompok radikal di penjara tersebut. Tahanan itu kabarnya merupakan bagian dari kelompok Al-Qaeda. Karena itu, tahanan itu sangat berguna untuk mendapatkan keterangan terkait pembelajaran, rekruitmen dan indoktrinasi.

Singapura misalnya, negara yang berlokasi di selat Malaka itu menangani terorisme dengan menjalankan program 'pendidikan ulang' tahanan teroris di penjara.  Dalam pendidikan tersebut, pemerintah Singapura menggunakan jasa ulama untuk mengembalikan terorisme ke jalan yang benar dengan menggunakan Alquran. Melalui Alquran, tim ulama memperbaiki secara kritis ajaran-ajaran yang dinilai salah interpretasi terkait penggunaan kekerasan.

"Penjara seharusnya bisa menjadi tempat untuk menghilangkan radikalisasi," ujar Peter Neumann, Pemimpin riset sekaligus Direktur ICSR yang berbasis di  London University's King's College. Ia menambahkan, penjara juga seharusnya memainkan peran positif guna mengatasi persoalan radikalisasi dan teroris di masyarakat dalam skala besar.

Sebelumnya, Neumann melakukan studi banding penanganan tahanan terorisme di 15 negara seperti Afghanistan, Algeria, Inggris, Mesir, Perancis, Indonesia, Israel, Belanda, Pakistan, Philipina, Arab Sauid, Singapura, Spanyol, AS dan Yaman. Dari studi itu, Neumann melihat pendekatan Agama menjadi kunci penanganan radikalisasi dan terorisme.

Kebanyakan penjara Barat mulai menerapkan 'langkah pengamanan pertama' yakni mendekati para tahanan yang dianggap radikal. Langkah ini, kata Neumann, merupakan cara untuk mengunci seseorang untuk tidak kembali membuat masalah.

Di Arab Saudi, cerita Neumann, para petugas penjara bekerja untuk mengembalikan arti hidup dan produktivitas tahanan selepas keluar dari penjara. Dalam beberapa kasus, pemerintah Arab Saudi bahkan memberikan mereka mobil dan rumah bahkan pendamping hidup. "Namun, tidak semua program deradikalisasi yang berlangsung di Timur Tengah dan Asia Tenggara berjalan sempurna," kata Neumann.

Namun, lanjutnya, apa yang dilakukan di Timur Tengah dan Asia Tenggara bisa menjadi inspirasi masyarakat Barat bahwa teroris dan radikalisasi bisa diubah menjadi hal yang positif. Karena itu, ia menilai perlu pendekatan yang tidak terbatas karena deradikalisasi berasal dari lingkungan yang kondusif.

Neumann menyatakan mengembalikan tahanan terorisme kepada masyarakat tanpa didukung dengan program berkelanjutan tidak akan membuahkan hasil. Kata dia, deradikalisasi tidak sebatas mengobati saja tapi juga perlu pengobatan lanjutan. "Afganistan merupakan contoh betapa sulitnya program deradikalisasi berlangsung," ujarnya,

Secara umum, studi yang digawangi Neumann menyarankan agar penjara Barat memberikan pendidikan yang seimbang antara ideologis dan agama dengan pelatihan yang berkelanjutan. Studi juga menyarankan adanya pemenuhan kebutuhan personal dan psikologis tahanan sebagai jaminan deradikalisasi. Terakhir, studi menyarankan perlunya metode yang canggih guna mengunci tahanan dengan sejumlah komitmen dan tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement