Rabu 13 Oct 2010 20:26 WIB

Menjauhi Kekufuran Sosial

Rep: Oleh Prof Asep S Muhtadi/ Red: Budi Raharjo
Ilustrasi
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,"Kefakiran dapat berpotensi pada kekufuran." Demikian di antara pesan moral yang sering kita dengar atau bahkan kita ucapkan. Meskipun diyakini para ahli hadis bahwa kalimat itu tidak termasuk qaul Nabi SAW, ia memiliki substansi pesan yang baik, paling tidak untuk direnungkan.

Kekufuran kini telah mengambil tempat yang semakin membahayakan. Ia merupakan satu dari sekian banyak penyakit sosial yang sering mengganggu kehidupan, merusak kebersamaan, dan bahkan tidak jarang muncul dalam wujud tindak kekerasan. Kekerasan pun pecah di banyak tempat. Secara sosial ataupun material, kekerasan kini telah melewati batas toleransi. Padahal, jika ditelusuri, sumber penyebabnya sangat sederhana.

 

Potret kesederhanaan yang menjadi sumber kekerasan itu dapat kita lihat dalam sejumlah tragedi sosial, seperti tawuran antarwarga, bentrok antarpemuda, atau saling lempar antarmahasiswa, yang kesemuanya hanya berakar pada persoalan yang tidak seberapa. Tragedi berdarah itu lalu pecah hanya karena masing-masing pihak tidak sanggup menahan diri.

Kekerasan yang akhir-akhir ini banyak terjadi di negeri yang mayoritas Muslim ini, seperti diyakini banyak pakar, salah satunya merupakan akibat langsung dari semakin lebarnya jarak sosial antara yang punya dan yang tak punya. Ketidakadilan ekonomi merupakan sumber semakin rentannya ketahanan psikis yang dalam perspektif pesan di atas dapat berpotensi merebaknya kekufuran.

Karena itu, dalam logika Alquran, kekerasan bisa saja terjadi sebagai bentuk peringatan keras Allah atas ketidakadilan ekonomi yang hingga saat ini belum sanggup menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Masih tingginya angka pengangguran menjadi sumber ketidaksanggupan manusia menerima kenyataan. Ketidakmampuan menghadapi kenyataan ini pula yang pada gilirannya telah menggeser ketulusan untuk bersedia menerima perbedaan.

Padahal, seperti diisyaratkan Nabi SAW, perbedaan adalah rahmat. Perbedaan dalam hal apa pun. Perbedaan pendapat dapat memperkaya wawasan. Sementara itu, perbedaan pendapatan pun dapat menjadi lahan beramal dalam berbagi rasa dengan sesama. Tapi, mengapa kenyataan mengungkap pemandangan sebaliknya. Perbedaan kini justru banyak menuai laknat. Mungkin, kenyataan inilah yang digambarkan Allah dalam Alquran surah Ibrahim (14) ayat 7, "Jika kalian bersyukur, akan Aku tambah nikmat-Ku kepadamu; tapi sebaliknya, jika kalian mengingkari atas nikmat-nikmat yang telah Aku berikan, azab-Ku sangat pedih."

Pernyataan Alquran yang sarat muatan pesan persuasi ini seolah tengah menampar bangsa kita yang akhir-akhir ini sering menuai derita. Pesannya tegas bahwa manusia wajib bersyukur, yang salah satu ekspresinya adalah sikap tulus menerima kenyataan sambil tetap berikhtiar memperbaiki kehidupan.

Jadi, untuk menghindari semakin suburnya kekerasan di negeri ini, perlu diperkuat agenda meringankan beban kekufuran sosial melalui usaha mewujudkan pesan Alquran. "Memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS Quraisy: 4).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement