Senin 18 Oct 2010 20:52 WIB

Bukan Kebebasan Merusak Agama

Rep: Oleh KH Didin Hafidhuddin/ Red: Budi Raharjo
Ilustrasi
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Setiap agama memiliki prinsip dasar dan aturan yang bersifat pasti, tidak boleh ada perbedaan pendapat di dalamnya. Rukun Iman yang berjumlah enam, mulai dari iman kepada Allah SWT sampai iman kepada qada dan qadar/ketentuan Allah SWT (hadis riwayat Imam Bukhari Muslim), adalah bersifat pasti dan tetap.

Seorang Muslim dianggap keluar dari keislamannya manakala hanya mengakui dua atau tiga rukun iman saja. Rukun Islam yang berjumlah lima, mulai dari membaca dua kalimat syahadat sampai dengan melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu (Hadis Riwayat Imam Bukhari), juga bersifat pasti dan tetap. Seseorang dinyatakan murtad apabila hanya mengakui dua atau tiga rukun Islam dan mengingkari rukun Islam yang lainnya.

 

Abu Bakar Shiddiq bersumpah akan memerangi orang yang hanya melaksanakan shalat, tetapi secara sadar dan sengaja enggan mengeluarkan zakat. Itu karena, kewajiban shalat dan kewajiban zakat adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Allah SWT dalam surah Al-Baqarah [2]: 43 berfirman, "Dan, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah beserta orang-orang yang ruku."

Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Mas'ud menyatakan bahwa tidak ada (pahala) shalat bagi orang yang mengingkari zakat. Dan, tidak ada pahala bagi orang yang menunaikan zakat, tetapi mengingkari kewajiban shalat.

 

Demikian pula kepercayaan dan keyakinan kepada Alquran dan Sunah Rasul yang merupakan sebuah kesatuan, yakin kepada Alquran harus pula yakin kepada Sunah. Ketaatan kepada Allah SWT harus pula diikuti dengan ketaatan kepada Sunah Rasulullah, sebagaimana yang termaktub dalam hadis-hadisnya.

 

Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran [3]: 32, "Katakanlah, 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." Karena itu, orang yang mengingkari Sunah sama dengan mengingkari Alquran. Demikian pula sebaliknya.

Aliran Ahmadiyah mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Padahal, sejak periode Rasulullah SAW sampai dengan akhir zaman, tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Perhatikan surah Al-Ahzab [33]: 40, "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan, adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Jika Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tetap meyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, padahal sudah diberitahu dengan argumentasi yang lengkap dan cara-cara yang hikmah, mereka sama dengan menyatakan dirinya keluar dari dari ajaran Islam.

Tidak boleh dengan alasan kebebasan beragama atau alasan HAM merusak ajaran Islam yang sudah bersifat pasti dan tetap. Di Pakistan, aliran Ahmadiyah disebut sebagai kelompok minoritas non-Muslim. Sehingga, jika menjadi agama Ahmadiyah (tanpa membawa nama Islam), kewajiban kita (sebagai Muslim) untuk menghormati mereka (JAI). Wallahu A'lam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement