REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO--Seorang polisi Mesir telah membunuh pria Kristiani berusia 71 tahun dan melukai lima orang lain dalam penembakan. Perisitwa itu terjadi dalam kereta dengan rute Mesir Selatan dan ibu kota Kairo, demikian menurut seorang sumber.
Tidak bisa langsung diketahui apakah penembakan pada Selasa itu dimotivasi latar belakang agama. Saat ini ketegangan antara dua komunitas agama, Muslim dan Kristen, memang tengah meningkat sejak pengeboman gereja Koptik di Alexandria pada malam tahun baru yang menewaskan 23 orang.
Pernyataan dari kantor menteri dalam negeri menyebutkan nama si pelaku penembakan adalah Amer Ashour Abdel-Zaher, petugas polisi berusia 23 tahun. Keterangan itu juga menyatakan bahwa salah satu korban terluka adalah istri pria yang tewas tersebut.
Pasangan itu berasal dari Kairo. Sementara korban yang lain berasal dari propinsi pusat, Minya.
Pernyataan juga mengatakan Abdel Zaher, yang tak mengenakan seragam saat melakukan penembakan, tengah dalam perjalanan ke tempat kerja. Ia menembak begitu naik kereta ke sejumlah penumpang dengan pistolnya lalu melarikan diri.
Polisi berhasil menahan si pelaku di dekat rumahnya dan kini sedang diinvestigasi, masih menurut pernyataan mendagri. Tak lama setelah penembakan, ratusan penganut Koptik yang marah berkumpul di luar rumah sakit tempat para korban terluka dirawat. Pengunjuk rasa juga melempari polisi dengan batu.
Assiut, kota di mana stasiun awal pemberangkatan kereta, adalah tempat tinggal komunitas Kristen dan di sana terdapat sebuah gereja kuno dan biara.
Otoritas Mesir tidak ingi melompat pada kesimpulan motif serangan. "Pengeboman pada awal Januari masih segar di setiap ingatan orang. Maka akan banyak pertanyaan apakah penembakan itu memang bermotif agama," ujarnya.
Presiden Mesir, Hosni Mubarak, berkali-kali telah mengatakan pemerintah akan melakukan yang terbaik untuk melindungi warga Kristen Mesir. Ia juga menuding grup-grup asinglah yang berada dibalik pengeboman gereja pada malam tahun baru.
Serangan terhadap gereja mau tak mau membuka luka lama yang belum kering antara komunitas Kristen dan Muslim. Komunitas Kristen kerap berkata mereka serasa menjadi warga kelas dua di negeri sendiri.