Senin 24 Jan 2011 08:01 WIB

Dalam Islam, Dua Wanita Mualaf Beda Budaya Itu Kini Bersahabat

Amina Mohammed (kiri) dan Sunni Rumsey Amatullah (kanan)
Foto: Newday
Amina Mohammed (kiri) dan Sunni Rumsey Amatullah (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK - Amina Mohammed, seorang asisten gigi 58 tahun di  rumah sakit Administrasi Veteran di St Albans, telah menjadi Muslim selama lebih dari 20 tahun. Ia dilahirkan di Doris Gregory, dari pasangan Jamaika Amerika.

Orang tuanya membesarkannya sebagai Lutheran. Namun dia bilang dia berhenti pergi ke gereja ketika ia berusia 16.

Dua tahun kemudian, ia memulai pencarian spiritual. Ia aktif dengan membaca tentang Buddhisme, Hindu, dan agama American Indian. Tetapi, katanya, tidak satupun dari mereka adalah apa yang ia cari. "Aku sangat kecewa," katanya, "Aku tahu bahwa ada agama yang benar, tapi aku tidak menemukannya. Tapi aku percaya pada Tuhan. Aku menolak atheisme sejak awal," ujarnya.

Di pertengahan usia 30-an tahun, setelah dua pernikahan gagal, ia yang membesarkan sendiri dua putrinya - yang kini 27 dan 33 - merasa sangat membutuhkan untuk bimbingan rohani. Dalam pencarian itu, ia bertemu Islam melalui beberapa literatur. "Ini adalah apa yang selalu aku cari selama ini," katanya.

Selama sekitar tiga tahun ia belajar agama, ia mulai mengurangi kencan dan  menutup kepalanya sesekali jika keluar rumah. Ia merasa nyaman dengan cara ini. "Rasa nyaman ini pula yang membuat aku yakin Islam adalah agama yang pas buatku," katanya.

Lalu dia pergi ke sebuah masjid di Manhattan. Di sana, makin bulat tekadnya untuk berislam. "Aku melihat perempuan dari berbagai negara dan dari berbagai ras berdoa bersama," katanya, "Saya pikir ini adalah bagaimana seharusnya di bumi."

Ia kini berkarib dengan Sunni Rumsey Amatullah, seorang mualaf kulit putih. Amatullah, yang tinggal di St Albans, telah menikah dan bercerai tiga kali sejak ia masuk Islam. Suami pertamanya adalah dari Sudan, yang kedua adalah dari Mesir dan yang ketiga adalah  Italia-Amerika, semua adalah Muslim. "Allah memberikan baik laki-laki dan perempuan hak untuk bercerai," katanya.

Beda dengan Amina, Amatullah memilih Islam sebagai bentuk   kritik atas budaya materialisme Barat.  Islam sungguh otentik ,indah, tradisional, dan membumi."

Saat menemukan Islam, ia mengaku seolah dipandu Allah. Direktur program pencegahan HIV di Iris House, sebuah organisasi kesehatan di Harlem, menyatakan masa lalunya sungguh kelam.

 Dia bertobat setelah puas mereguk gaya hidup liar hedonistik selama beberapa tahun. "Saya menyebutnya kebangkitan rohani. Bayangkanlah apa yang terjadi dengan saya adalah seperti Anda berada dalam kabut dan Anda tidak tahu Anda berada dalam kabut, dan kemudian membersihkan diri," katanya.

Awal persinggungannya dengan Islam bagai sebuah tamparan. "Suami teman saya memberi saya Quran di awal usia saya 20-an tahun, karena dia pikir saya terlalu liar," katanya.

Pada awalnya, Amatullah berkata, dia sedikit memperhatikan, tapi ia sangat terpengaruh ketika ia memulai menggali ke dalamnya.

Namun, butuh waktu sekitar lima tahun dan banyak kontemplasi, sebelum ia menjadi benar-benar tertarik dalam Islam. Dia mengaku terkesan dengan hak-hak perempuan dalam Islam.

"Bayangkan itu terjadi di abad ke tujuh Masehi,  saat wanita dalam budaya lain hampir sebagian besar tak memiliki kuasa atas hidup mereka," ujarnya.

Ia pun akhirnya bersyahadat.

Menjadi Muslim, katanya, adalah mengemban amanah menjadi rahmat bagi sesama. Ia menemukan ladangnya kini: memberi penyadaran pada generasi muda betapa meruginya pergaulan bebas, terutama bagi perempuan.

sumber : Newday
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement