Pertanyaan
Assalamualaikum
Saya ingin menanyakan, jika saya mempunyai emas kemudian saya gadaikan (gadainya di bank syariah) hingga cukup untuk biaya naik haji, apakah halal uang gadai tersebut ?
Apakah sistem gadai bank syariah di indonesia sudah sesuai dengan syariat islam?
Perhitungan saya, dengan menggadaikan emas tersebut, saya bisa memiliki lagi emas tersebut dengan mencicil pembayaran gadai tersebut.
Terimakasih
Aryo sedayu - Yogyakarta
Jawaban
Waalaikumsalaam wr wb
Pak Aryo yang dimuliakan Allah SWT,
Pada dasarnya, emas memiliki dua fungsi. Yaitu, sebagai sil'ah (barang/komoditas) dan sebagai nuqud (uang).
Emas bisa kita gadaikan apabila fungsi yang berlaku adalah sebagai sil'ah. Catatannya, dalam proses penggadaiannya tidak boleh mengandung unsur riba, yaitu riba al-fadl. Misalnya, menggadaikan emas senilai 300 gram, tetapi pada saat menebusnya, nilai yang harus ditebus mencapai angka 500 gram. Kelebihan 200 gram ini merupakan riba al-fadl yang dilarang dalam ajaran Islam. Namun demikian, jika ada biaya pemeliharaan yang muncul dari proses gadai tersebut, maka pengenaan biaya tersebut diperbolehkan selama nilainya riil, jelas, dan tidak mengada-ada.
Besaran biaya tersebut juga tidak boleh berupa prosentase dari emas yang digadaikan, sehingga nilainya menjadi bervariasi, bergantung pada besarnya nilai emas yang digadaikan. Sebagai contoh, jika menggadaikan 200 gram emas, maka biaya pemeliharaan yang dikenakan adalah sebesar 5 persen dari 200 gram (senilai 10 gram emas). Jika yang digadaikan 400 gram emas, dengan prosentase yang sama, maka biaya pemeliharaannya menjadi ekivalen dengan 20 gram emas. Praktek semacam ini tidak boleh dilakukan.
Dalam konteks lembaga keuangan syariah di tanah air, hukum tentang gadai emas ini telah diatur melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
Adapun jika emas berfungsi sebagai nuqud atau uang, maka hukum menggadaikan uang itu tidak diperbolehkan dalam Islam. Menggadaikan atau memperjual belikan uang dengan nilai yang berbeda merupakan aktivitas yang tidak sesuai dengan syariah. Karena itu, kita tidak akan menemukan produk keuangan syariah yang membolehkan aktivitas semacam ini.
Namun demikian, Indonesia saat ini bukanlah negara yang menjadikan emas (dinar emas) sebagai alat tukar resmi (mata uang), sehingga fungsi nuqud dari emas menjadi tidak ada. Lain halnya kalau dinar emas telah menjadi alat tukar resmi. Berlaku tidaknya emas sebagai mata uang sangat bergantung pada kebijakan negara dan usaha umat Islam itu sendiri.
Sedangkan mengenai praktek gadai emas di bank atau lembaga keuangan syariah, apakah telah sesuai dengan syariah atau belum, maka kita bisa merujuk pada Dewan Pengawas Syariah (DPS) lembaga yang bersangkutan. DPS inilah yang menjadi perpanjangan tangan DSN di dalam mengawasi kesesuaian syariah dari praktek lembaga keuangan yang ada. Apabila ternyata kita melihat ada ketidaksesuaian pada sisi prakteknya, atau ada hal yang meragukan, maka kita bisa melaporkannya kepada DPS lembaga tersebut, ataupun langsung kepada DSN MUI. Wallahu a'lam.
Wassalaamualaikum wr wb
Dr Irfan Syauqi Beik
Program Studi Ekonomi Syariah, Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB